“Maaf apa ini dengan pak Ali Faturrahman?” tanya seorang polisi yang kini berhadapan dengan Ali dan Alfin.
Ali lansung berdiri dan diikuti oleh Alfin. Lantas Ali mengangguk dan melirik dua orang yang paling dia benci sekarang ini.
“Ya saya sendiri, ada apa ya pak?” tanya Ali berusaha ramah dulu.
Polisi itu tampak ragu mengatakannya dengan sesekali melirik kedua pelaku penjahatan yang menimpa tunangan laki-laki di depannya itu.
“Begini saya dan pelaku yang saya bawa ini mau menemui korban untuk meminta maaf, mereka bilang mereka takut tidak pernah bertemu lagi dengan sang korban dan takut melupakan permintaan maafan mereka.” jelas polisi itu masih terlihat cool meskipun dia sudah enggan berbicara seperti itu.
Ali mengeryitkan kening bingung, dia menoleh menatap Fatimah di celah-celah kaca rawat tersebut. Lalu pandangannya teralihkan kearah dua pelaku yang berada di depannya itu. Ali sama sekali tidak melihat kebohongan di mata mereka, hanya ada permohonan agar diizinkan bertemu dengan Fatimah.
Perlahan Ali mengangguk dan tersenyum.
“Baiklah saya izinkan jika Fatimah memang ingin bertemu kalian juga. Tetapi kalau tidak terpaksa kalian harus pergi dari sini.” ucap Ali mendapat senyuman dari kedua pelaku itu. Tanpa basa-basi polisi itu segera mengantarkan keduanya masuk ke dalam ruang inap Fatimah.
***
Fatimah yang sedang asyik bertukar cerita dengan uminya malah berhenti ketika melihat Zahra sahabatnya sendiri dan Aidan seniornya itu sedang diborgol oleh polisi. Tentu saja itu membuat rasa penasaran Fatimah seketika membesar saat itu juga.
“Zahra? Kak Aidan? Ka.. Kalian kenapa diborgol oleh polisi? Kalian tidak melakukan kesalahan kan?” tanya Fatimah masih tidak percaya kalau orang yang dihadapannya itu telah melakukan hal yang tidak baik.
Zahra diam tidak berkutik, rasa malunya tidak sebanding dengan rasa bersalahnya kepada sahabatnya sendiri.
“Kak...” panggil Fatimah membuat Aidan ikut diam saja, jujur dia lebih baik dihukum mati daripada harus bertemu dengan Fatimah yang merupakan korban atas perlakuannya itu
Fatimah menatap keduanya dengan rasa penasaran yang cukup besar. Lalu kedatangan Ali dan Alfin membuat Fatimah lansung menyodorkan pertanyaan yang seharusnya ia tanyakan kepada Zahra dan kakak seniornya itu.
“Ali, mereka kenapa diborgol polisi? Mereka nggak melakukan hal yang buruk kan?” tanya Fatimah masih saja tidak percaya kepada mereka semua.
Ali pun hanya diam, dia berusaha mengisyaratkan mereka untuk segera memberitahu Fatimah tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Maafin gue Fa, ka.. karena udah nyelakain lo sama Ali waktu itu.” ucap Zahra sembari menunduk gugup dan tidak berani menatap wajah sahabatnya yang masih kebingungan dengan apa yang ia bicarakan.
“Maksud kamu apa Zah? Yelakain? Nyelakain kapan?” tanya Fatimah masih tidak mengerti.
“Pasal lo ditusuk sama koma.” jawab Zahra membuat Fatimah lansung down seketika. Jadi pelaku dibalik kejadian yang menimpanya itu adalah sahabatnya sendiri? Tetapi mengapa harus dia? Mengapa harus sahabatnya sendiri yang menjadi pelakunya?
Air mata Fatimah sudah siap mengalir namun segera ia tepis sebelum terlihat oleh semua orang. Dengan cepat Fatimah menghampiri Zahra dan memeluknya. Bahkan impus yang ia pakai hampir saja putus karena tindakannya yang ceroboh.
“Fatimah!” teriak semua orang yang hampir bersamaan saat mengatakannya.
Zahra yang mendapatinya lansung membalas pelukan itu. Pelukan yang begitu sangat ia rindukan dari seorang sahabat, sayangnya ia merasa sudah tidak pantas menerima pelukan itu.
“Kamu nggak salah kan Zah? Omongan kamu tadi itu nggak bener kan? Jawab Zahra...., kalaupun itu kamu....” Fatimah terhenti karena air matanya mulai membasahi wajahnya.
Fatimah melepas pelukannya dan mengusap air matanya lalu menatap kembali wajah sahabatnya itu.
“Ka.. Kalaupun itu kamu, aku nggak bisa ngebenci sahabat aku sendiri Zah. Bagi aku kejahatan yang kamu lakukan tidak sebanding dengan perjuangan kamu menemani aku sebagai sahabat sendiri Zah. Aku nggak bisa marah apalagi orang yang seharusnya aku bentak adalah kamu!” jelas Fatimah membuat Zahra tertegun. Mengapa dia terlihat begitu kejam jika berhadapan dengan sahabatnya sendiri? Dan mengapa dia sia-siakan sahabat seperti Fatimah yang sesabar itu menghadapi tingkahnya dan bahkan membahayakan nyawanya sekalipun.
“Tampar gue Fa! Tampar! Gue nggak pantes jadi sahabat lo lagi!” ucap Zahra seraya mengangkat tangan Fatimah untuk segera menamparnya.
Semuanya hening, tidak ada yang mau ikut campur jika itu urusan persahabatan. Biarkan mereka meluapkan segala masalah yang mereka jadikan beban pikiran.
Fatimah memeluk kembali tubuh Zahra. Meskipun rasa kecewa yang menyelimutinya tetapi sahabat tetaplah sahabat. Fatimah bukan tipe perempuan yang melupakan kebaikan seseorang karena satu kesalahan yang dia lakukan.
“Aku udah maafin kamu Zah, biarlah itu semua berlalu dan lupakan yang telah terjadi. Aku nggak mau kehilangan sahabat lagi Zah, cukup Vania yang meninggalkan aku.” jelas Fatimah membuat Zahra benar-benar merasa bersalah saat itu juga.
Namun polisi yang merasa semuanya sudah cukup lansung menarik tubuh Zahra Untuk kembali jauh dan pergi ke kantor polisi lagi.
“Maaf bu Zahra, tapi waktu anda sudah habis untuk meminta maaf seperti yang anda minta. Dan bu Fatimah tolong untuk mengerti ya.” ucap polisi itu masih menampakkan wajah dinginnya.
Zahra hanya bisa diam dan menatap wajah Fatimah untuk terakhir kalinya dengan senyuman yang tulus.
“Gue pergi dulu Fa, nanti lo bisa kok kapan-kapan kalo mau ketemu sama gue. Ya... Walaupun nggak sebebas dulu.” ucap Zahra dengan wajah yang dipaksakan untuk selalu tersenyum.
“Hati-hati Zah, aku bakal sering-sering ketemu kamu kok dan ngebuat kamu nggak merasa bersalah lagi.” balas Fatimah sembari memegang kedua tangan sahabatnya. Seolah-olah menyalurkan rasa semangat untuknya.
“Baiklah saya dan pelaku mohon pamit dulu pak bu, assalamualaikum!” ucap salah satu polisi langsung disahuti oleh semua orang yang berada di ruang inap Fatimah.
“Waalaikumsalam.” jawabnya.
Setelah melihat kepergian sahabatnya dan senior yang menjadi pelaku dibalik kejadian yang menimpanya itu, Fatimah lansung tertuduk lemas di lantai. Untung Ali yang berada di dekatnya lansung membantu Fatimah untuk kembali berdiri dan duduk di samping brangkar rumah sakit.
“Kenapa harus dipenjara Al, dia sahabat aku. Aku aja udah baikan kok, aku nggak mau jauh dari dia!” ucap Fatimah lirih diiringi oleh tangis yang mulai menjadi-jadi.
Ali memeluk tubuh Fatimah sembari mengatakan sesuatu.
“Kamu harus kuat Fa, mereka hanya menjalani hukum negara! Mereka juga berhak dihukum karena ulahnya sendiri.”
“Udah jangan nangis dong, nanti Zahra malah tsmbah merasa bersalah sama kamu.” sambung Ali membuat Fatimah seketika berhenti menangis karena menyebut nama sahabatnya.
Ali tersenyum saat melihatnya, dia menguraikan pelukannya dan duduk mensejajarkan tubuh Fatimah.
“Nanti kalo udah sembuh kita kesana yah, janga nangis lagi. Fatimahnya Ali nggak boleh lemah tau, harus kuat!” ucap Ali membuat baik Fatimah dan lainnya terkekeh begitu mendengar ucapan Ali.
Fatimah mengangguk dan tersenyum sembari mengusap air matanya. Dari kejadian ini dia belajar bahwa orang terdekat saja pun, mereka bisa berkhianat layaknya musuh dan keputusan hanya tersisa dua yakni memaafkan atau memusuhinya balik. Namun Fatimah lebih memilih memaafkannya karena sadar bahwa kejahatan yang sahabatnya lakukan tidak sebanding dengan kebaikan yang sahabatnya lakukan kepadanya selama ini.
So kesimpulannya, jangan lupakan kebaikan seseorang hanya karena satu kesalahan yang dia lakukan kepada kamu.
“BERSAMA MENUJU CINTANYA”
•••••#Next Chapter?
#Jangan lupa voment-nya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Menuju Cintanya ( Completed )
Teen Fiction( Disarankan follow sebelum membaca ) Bagaimana rasanya menyukai seseorang dalam diam? Menyenangkan tetapi harus selalu sabar dalam menghadapi kenyataan bahwa orang yang disukainya ternyata telah dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Namun tiba-tiba...