Pagi mulai menampakkan seberkas cahaya yang menyelinap ke sela-sela gorden di kamar Fatimah. Perlahan kedua mata Fatimah membuka, dia segera duduk dan mengucek-ngucek kedua matanya dengan sedikit bergumam dan menatap sekeliling kamarnya.
Setelah sepenuhnya sadar, dia lansung kebingungan mengapa dirinya berada di kamar. Sedangkan yang ia terakhir ingat, dia berada di ruang tamu sambil ngobrol-ngobrol.
“Kok aku disini ya? Perasaan terakhir aku lagi ngobrol bareng Alizah deh di ruang tamu?!” batin Fatimah bermonolog pada dirinya sendiri.
Tak lama kemudian, uminya datang dari balik pintu kamarnya. Tampak sebuah nampak berisi bubur dan air, serta tidak lupa dengan obat.
“Assalamualaikum sayang, udah bangun ya? Maaf ya umi lansung masuk. Soalnya umi kira kamu masih istirahat.” jelas uminya seraya menaruh nampannya diatas nakas.
Fatimah tersenyum menatap uminya itu. Dia memerhatikan uminya dan membuat Khadijah merasa salah tingkah.
“Kenapa ngeliatin umi seperti itu? Ada yang salah kah?” tanya Khadijah seraya menatap dirinya sendiri dari pantulan kaca besar milik Fatimah.
Fatimah terkekeh mendengar ucapan uminya.
“Sini duduk dulu umi, Fatim mau ngomong sesuatu.” ucap Fatimah, Khadijah hanya menurut dan lansung duduk di pinggir kasur milik Fatimah. Dia menatap wajah putrinya dengan penasaran.
“Mau ngomong apa sih? Tumben kamu tuh.” ucap Khadijah.
Fatimah hanya tersenyum lalu kembali menatap wajah uminya.
“Kemarin malam Fatimah kenapa? Kok bangun-bangun udah ada di kamar? Apa terjadi sesuatu tadi malam?” tanya Fatimah dengan serius. Dia sama sekali tidak dapat mengingat jelas apa yang terjadi semalam kepadanya.
Khadijah terkejut, namun ia normalkan kembali raut wajahnya agar Fatimah tidak begitu memikirkannya.
“Kamu hanya pingsan saja, untung Ali masih kuat gendong ke kamar kamu.” jelas Khadijah membuat Fatimah memelototkam kedua bola matanya.
“Apa?!” teriak Fatimah lansung membuat Khadijah terlonjak kaget dan bahkan hampir terjatuh dari kasur tersebur.
“Huh, jangan teriak-teriak dong. Untung umi nggak punya riwayat penyakit jantung.” gerutu Khadijah kepada putrinya itu.
Fatimah cengar-cengir ketika dia menyadari bahwa teriakannya terlalu keras dan hampir membuat uminya terjatuh. Lalu wajahnya kembali serius dan merasa malu karena semalam dia tidak menyadari itu.
“Kok umi ngebolehin Ali gendong Fatim sih? Kan bisa kak Varo yang gendong Fatim, atau siapa gitu selain Ali.” ucap Fatimah dengan cemas.
“Lah emang kenapa dengan Ali? Dia kan udah tunangan sama kamu.” tanya Khadijah seraya berdiri dan membenarkan jilbab yang tadinya berantakan.
“Ya kan... Fatim...”
Belum selesai melanjutkan perkataannya, lantas Khadijah memotongnya.
“Yaudah pokoknya kamu harus sarapan dulu, entar keburu dingin loh buburnya. Yaudah umi mau ke dapur dulu.” ucap Khadijah berlalu pergi meninggalkan Fatimah sendirian di kamarnya.
Setelah melihat kepergian uminya, Fatimah menoleh menatap bubur yang berada di atas nakasnya. Dia menatap tidak nafsu untuk memakannya, tetapi mau bagaimana lagi. Uminya sudah rela membuatkan bubur pagi-pagi hanya untuk dirinya.
Dengan perlahan dia memakannya sampai benar-benar habis.
***
Sedangkan di rumah Alfi, kini dia sedang menatap foto yang menampakkan seorang bocah laki-laki dan perempuan saling melempar lumpur. Dia ingat betul kenangan-kenangan dirinya bersama gadis kecil yang tak lain adalah Fatimah sendiri.
Niatnya yang ingin membersihkan kamarnya malah terganti menjadi merenungkan masa lalunya. Sebenarnya dia sudah lama menyukai Fatimah, namun sejak Fatimah diputuskan untuk sekolah di pondok pesantren, hubungannya dengan Fatimah sedikit merenggang karena kurangnya komunikasi.
Alfi menghembuskan nafasnya, lalu kembali menaruh foto tersebut ke dalam sebuah kotak kecil.
“Harus dengan apa agar kamu bisa kembali kepadaku Fa.” batin Alfi setelah menaruh kotak itu kedalam kolong kasurnya.
Saat dia ingin kembali menjalankan aktivitasnya, tiba-tiba handpone yang tergeletak di atas kasurnya bergetar dan membuat Alfi sempat terkejut. Lantas dia mengambil handponenya dan melihat sebuah nomor yang tidak dikenalinya.
“Halo? Ini siap...” ucap Alfi namun lansung dipotong oleh lawan bicara.
“Kamu ingin hubungan Fatimah dengan Ali hancur kan? Cepat temui aku di gedung tua di Gang kecil itu.” jelasnya membuat Alfi tambah terkejut. Bagaimana bisa lawan bicaranya tau, tetapi Alfi masih belum kepikiran untuk menghancurkan hubungan sahabatnya sendiri.
“Tidak, aku tidak akan melakukan itu. Fatimah, dia sahabatku! Aku tidak akan melukainya dengan cara pengecut seperti ini.” ucap Alfi dengan nada sumbang.
Lawan bicaranya lantas tertawa mendengar itu.
“Baik sekali kamu, tetapi apa kamu tidak pernah berpikir apakah Fatimah akan menjaga perasaanmu itu? Bahkan sudah jelas bahwa Fatimah sudah membuatmu sakit hati.” jelasnya membuat Alfi terdiam. Antara benar dan salah akan ucapannya itu, Alfi dengan cepat mematikan telfonnya dan terduduk di pinggir kasurnya.
Dia benar-benar dibuat bingung oleh penelfon itu. Apakah ia akan terhasut oleh rencana jahatnya? Ataukah dia akan tetap pada pendiriannya, meskipun hatinya yang akan dikorbankan untuk selamanya.
Suara notifikasi kembali terdengar, Alfi menoleh menatap layar handponenya. Lalu membuka pesan yang dikirim oleh si penelfon itu.
+6281*********
Temui aku jika kamu berubah pikiran. Tempatnya tetap sama!Alfi lansung membuang handponenya ke sembarang arah. Dia benar-benar bingung akan hal ini, dia tidak tahu harus mengambil keputusan yang mana? Di sisi lain dia menginginkan Fatimah untuk selalu bersamanya, namun di sisi lain dia juga tidak bisa melukainya dengan cara pengecut seperti ini.
***
Perempuan itu menutup ponselnya dan tersenyum miring melihat taman tersebut, taman yang akan menjadi awal tingkah jahatnya kepada Fatimah.
“Setidaknya kalau gue nggak bisa bersama Ali, gue bisa ngebuat hidup lo nggak aman Fa.” ucapnya dengan kekehannya yang terlihat begitu kejam.
Perempuan itu tampak mengingat memori masa lalunya bersama Ali, walaupun hubungannya sebatas pacar tanpa kepastian. Tetapi dia sudah terlanjur menyukai dan nyaman bersama Ali.
Tanpa disadari setetes air mata mengalir dari kedua manik matanya. Dia yang menyadari itu lansung menghapusnya secara kasar.
“Kok gue nangis sih?! Nggak, gue nggak boleh lemah karena ini. Gue harus bisa dapetin Ali apapun itu caranya. Yah, gue harus bisa! Harus bisa!” ucapnya pada dirinya sendiri. Namun setelah mengatakan itu dia terdiam, entah apa yang dipikirkannya.Dia menyesap rokok yang sejak tadi diapit oleh kedua jarinya itu. Dan hampir terbakar habis dan menyisakan putung rokok yang sudah kecil.
Dia membuang putung rokok yang tadi berada diapit kedua jarinya. Dan lansung beranjak pergi setelah membuangnya.
Satu nama yang akan membuat dirinya bisa bersikap brutal seperti ini, FATIMAH! Dia akan melakukan sesuatu pada perempuan itu. Dia tidak peduli akan akibat dari perbuatannya itu, yang penting hanyalah Ali. Dia harus mendapatkan laki-laki itu kembali kepada dirinya.
“BERSAMA MENUJU CINTANYA”
••••#Next Chapter?
#Jangan lupa voment-nya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Menuju Cintanya ( Completed )
Teen Fiction( Disarankan follow sebelum membaca ) Bagaimana rasanya menyukai seseorang dalam diam? Menyenangkan tetapi harus selalu sabar dalam menghadapi kenyataan bahwa orang yang disukainya ternyata telah dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Namun tiba-tiba...