Chapter 25 - Lose

1.7K 409 152
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
.
.
.

Mengandung bawang lgi nih 🤷

Tapi gak banyak kok

Paling sampe merah doang

Eh gak tau deh

Setiap orang beda beda

Ada yang gampang baper

Ada yang biasa aja
.
.
.

✿_____✿_____✿

Kehilangan mengajarkan kita tentang arti kebersamaan.
Kemarin-kemarin biasa saja, tapi setelah kehilangan kita baru sadar bahwa dia sangat berharga.

✿_______________✿_______________✿

"Sekarang bertindak. Pokoknya hari ini anak itu harus mati."

Ardi mematikan teleponnya.

Membunuh Reyhan dengan tujuan menyembunyikan identitas ternyata memiliki manfaat lain juga. Sepertinya Alden sudah tahu bahwa dirinya yang membunuh sahabatnya itu. Pukulan yang ia dapatkan dan ucapan yang Alden lontarkan sudah membuktikan bahwa pengacara yang dulu hampir menjadi menantunya mengetahui sesuatu.

Mendapati Aina yang marah dan memilih mengunci diri di kamar setelah bertemu Alden karena melihat Alden memukulnya di televisi membuat Ardi senang. Ia tidak perlu susah-susah lagi memisahkan Alden dan Aina. Karena mereka sendiri yang akan memilih untuk saling meninggalkan.

Ardi sangat bersyukur.

Alden yang tidak ingin berhubungan dengan orang yang sudah ia tuduh sebagai pembunuh temannya, dan Aina yang tidak terima ayahnya disakiti oleh lelaki yang ia cintai.

Perfect.

Ardi mengetuk-ngetuk pintu. Menawari Aina untuk makan. "Nak, buka pintunya. Dari kemarin kamu belum makan. Udah, kamu nggak usah pikirkan Alden. Apa Papa bilang, dia bukan yang terbaik. Kamu lihat sendiri bagaimana kelakuan dia."

Di dalam Aina kacau bukan main. Sampai sekarang dia belum berani melihat tangan papanya. Ia takut apa yang Aska katakan benar. Aina belum siap menerima kenyataan.

Aina menutup dua telinga, tidak ingin mendengar apa pun.

"Aina, Sayang. Papa mohon, buka pintunya."

Aina masih setia menutup telinga, sampai akhirnya dia menidurkan diri, menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh.

Suara sang papa masih terdengar, Aina semakin merapatkan tangan dan selimut untuk menutupi dua telinganya.

"Aina, kalau ada yang menyakiti kamu di sekolah, kamu bilang sama Papa, ya."

"Emangnya Papa mau ngapain?"

"Mau Papa susulin. Terus Papa sentil kupingnya, biar nggak gangguin kamu."

"Aina, jangan nangis, Nak. Ibu pergi ke Surga. Jangan nangis, Nak. Ada Papa di sini. Papa akan selalu ada buat kamu. Papa nggak bakal ninggalin kamu. Papa akan mengurus kamu sama Alisa semampu yang Papa bisa. Udah, yuk. Jangan nangis lagi. Kita bertiga harus bisa hidup tanpa Mama. Nanti, akan ada masanya, kita susul Mama."

"Ainaa ... Alisa .... Papa pulang .... Papa bawa mainan baru, nih buat kalian. Yuk, keluar."

"Papa nggak mau menikah lagi?" tanya Aina kecil yang baru berumur sepuluh tahun.

Wedding Dress √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang