Detak Surat-100

52 8 0
                                    

Dinar berlari begitu cepat. Ia mengejar waktu yang sudah menunjukkan pukul 6.45. Dia sudah telat lima belas menit untuk bertemu dengan Senar. Dinar berharap Senar belum pergi dari sana.

"Dikit lagi Dinar. Lu bisa" Ucapnya menyemangati dirinya sendiri.

Dinar berhenti berlari. Ketika melihat wajah Senar yang duduk di bangku yang ada di bawa pohon rindang depan toko roti. Dinar segera menghampiri Senar. Senyumnya mengembang indah untuk sesat. Tidak saat matanya melihat sebuah koper berdiri di samping Senar.

"Kamu mau kemana?" Tanyanya mengagetkan Senar.

"Dinar... " Lirih Senar tersenyum. "Duduk dulu"

"Aku tanya, kamu mau kemana?" Dinar enggan untuk duduk sebelum Senar menjawab pertanyaannya. "SENARDIANSYAH aku tanya sama kamu"

"Aku akan jawab Dinar, tapi duduk dulu. Aku capek"

Dinar tidak bisa menolak ajakan Senar untuk duduk. Mereka kini duduk berhadapan dengan sebelah tangan Dinar yang di genggam erat oleh Senar. Dinar tidak bisa menahan air matanya lagi. Pipinya sudah basah dengan air mata hanya dengan melihat koper milik Senar.

"Aku sayang kamu Dinar"

"Aku tahu" Balas Dinar sesenggukan.

"Kamu jangan nangis. Aku gak bisa lihat kamu sedih kayak gini" Ujar Senar menghapus air mata Dinar dengan sebelah tangannya.

"Kamu mau pergi kemana?" Tanya Dinar.

Senar tersenyum. "Kamu baik-baik, ya, Dinar" Ucap Senar mengalihkan pertanyaan Dinar.

Dinar berhamburan kepelukan Senar. "Jangan pergi Senar. Aku gak mau sendirian"

"Kamu enggak sendirian Dinar. Banyak orang disekitarmu, anggap mereka aku"

"Kamu berbeda. Mereka bukan kamu" Tangisan Dinar semakin keras.

"Waktuku enggak banyak Dinar. Aku akan kirim surat buat kamu nanti"

"Kenapa enggak pakek ponsel aja, sih, biar kita bisa teleponan, video call, chatingan. Biar aku kuat disini meski kamu enggak ada di sampingku"

"Aku enggak butuh itu Dinar. Kamu bisa telepon papaku kalo kamu mau tanya kabarku"

"Jangan pergi... " Dinar semakin mengeratkan pelukannya. Berharap dengan ini dia bisa mencegah Senar untuk pergi.

Senar hanya tersenyum disaat Dinar menangis. "Aku enggak mau jauh dari kamu"

"Aku dekat sama kamu Dinar. Hanya raga kita saja yang terpisah, tapi kamu masih ada di hatiku"

"Enggak" Dinar menggeleng masih dengan pelukannya di tubuh Senar. Dinar belum pernah merasakan hal seperti ini. Harus berjauhan dengan orang yang paling dia sayangi saat ini.

Tin.. Tin...
Suara klakson terdengar di kedua telinga mereka. Itu mobil jemputan Senar menuju bandara. Dengan Shinta, sahabat dekat Senar yang mengemudikannya.

"Shinta udah datang. Waktuku udah habis. Kamu baik-baik disini, denger kata-kata tante Karin" Pesan Senar sebelum sepenuhnya pergi dari hadapan Dinar.

Dinar tidak mau melepaskannya. Dinar masih menahan Senar untuk pergi dengan air mata yang tidak berhenti untuk kembali menetes. Senar yang tadinya sekuat mungkin menahan air matanya agar tidak jatuh, gagal. Dia meneteskan air matanya dan langsung menghapusnya. Rasa yang Dinar rasakan dirasakan juga olehnya.

"Suruh Shinta pergi. Kamu enggak jadi pergi"

"Dinar... Aku harus pergi"

"Enggak" Sahut Dinar cepat.

Detak SuratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang