Sebait Surat Untuk Dinar

6 3 0
                                    

"Lu belum tahu. Gue suka sama lu, Nar. Udah berkali-kali gue bilang itu. Apa lu enggak bisa lihat itu?"

Untuk kesekian kalinya Dewa menyatakan apa yang dia rasakan. Dan berkali-kali juga Dewa mengetahui kalau jawabannya masih sama. Sampai kapanpun.

Dinar dengan santainya tersenyum. Lalu berkata. "Makasih udah nyatain perasaan lu untuk kesekian kalinya dan juga maaf karena lagi-lagi gue harus tolak lu"

"Lama-lama gue bosen dengernya itu-itu mulu. Enggak ada kata-kata yang lain apa?" Dewa tersenyum saat mengatakan itu.

Dinar menggeleng. Sambil menatap wajah Dewa yang menatap lurus ke depan.

"Gimana kabar Senar?"

Dinar kembali menggeleng. Pertanyaan yang tidak bisa Dinar jawab secara cepat. Keadaan Senar. Saat dirinya tidak bisa menghubungi Senar dan Senar yang belum juga mengirim surat lagi.

"Gue enggak tahu Senar sehat atau enggak" Ucap Dinar lemah.

"Tapi lu harus yakin kalo dia baik-baik aja" Sahut Dewa.

Dinar menganggukkan kepala. Sependapat dengan apa yang Dewa katakan barusan. Hatinya yakin kalau Senar disana akan baik-baik saja, meskipun kadang kala hatinya bergeming.

"Dia udah jarang kirim surat ke gue" Lirih Dinar tersenyum saat mengatakan hal yang menyakitkan baginya.

Dewa menoleh, menatap wajah sendu Dinar dibalik senyuman pahitnya. "Gue bisa kirim surat buat lu?" Tawar Dewa.

Senyuman Dinar semakin lebar mendengar penutur Dewa barusan. "Kita tetanggaan, gak perlu pakek surat-suratan segala" Balas Dinar.

"Gue mau ngelakuin itu biar rasa rindu lu ke Senar berkurang"

Dinar menggeleng sambil tetap mempertahankan senyumannya. "Gak perlu. Gue enggak seperti Dinar yang dulu, gue udah berubah" Mata Dinar menatap mata hitam Dewa yang juga menatapnya.

"Lu enggak berubah, Nar. Lu hanya pura-pura kuat dibalik senyuman lu" Lirih Dewa begitu serius saat mengatakannya.

Ucapan Dewa seperti sebuah hantam kuat bagi hati Dinar. Hingga mampu membuatnya tidak bisa berkata-kata sama sekali. Hanya diam membisu menatap Dewa yang menatapnya sendu.

"Lu enggak pernah berubah, Nar. Mungkin banyak orang ngira lu berubah. Tapi enggak bagi gue, lu masih sama seperti Dinar yang gue temui pertama kali" Dewa mengambil napas sejenak. "Dinar yang kehilangan kekasihnya"

Dinar tidak dapat menahan air matanya. Ucapan Dewa memang ada benarnya. Dia masih seperti Dinar yang lemah. Yang memilih menangis demi menghilangkan kepedihan di hati.

Mungkin tidak banyak orang yang bisa lihat. Namun Dewa satu-satunya orang yang dapat membaca semua pikirannya dan juga dirinya. Dewa yang bisa menguatkan dia dan juga menghancurkannya dengan kata-katanya.

"Lu enggak perlu nutupin semua di depan gue. Karena gue tahu semuanya"

Tangisan yang hanya beberapa tetes kini menjadi aliran deras di kedua pipi Dinar. Kata-kata Dewa begitu sangat menyanyi hatinya. Membuka kembali lukanya.

"Lu boleh nangis di depan gue" Lirih Dewa menghapus aliran air mata di pipi Dinar. "Lu boleh ceritain kalo lu sebenarnya rindu dia, lu bisa bebas jadi diri lu di depan gue. Gak perlu ada luka yang lu sembunyiin lagi"

"Makasih... "

"Enggak perlu, itu gunanya gue di kehidupan lu. Karena itu gue ada disini, nemenin lu"

Dinar tersenyum saat dirinya sedang menangis. Mendengar Dewa mengatakan itu, membuat hatinya sedikit tenang. Karena ada seseorang yang mengerti dalam dan luarnya saat ini.

Detak SuratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang