Detak Surat

5 3 0
                                    

"Abi... " Panggil Shinta manja.

Setelah mengantar Dewa dan Dinar pulang, Shinta mampir ke rumah Dewa. Jadilah mereka berdua duduk berdua di sofa depan televisi.

"Kenapa, Shinta? Dari tadi lu panggil-panggil gue mulu" Sahut Dewa malas.

"Gue suka aja panggil lu, Abi. Karena cuma gue yang panggil lu dengan sebutan itu"

"Terserah lu, lah, Shin"

"Abi, lu percaya?"

"Percaya apa?"

"Kalo gue gak berubah"

"Enggak, lu udah berubah" Balas Dewa tersenyum.

"Gue masih sama kok, Bi. Perasaan gue ke lu juga" Senyuman lebar tercetak jelas di wajah Shinta. Menandakan Shinta begitu tulus mengatakannya. "Sama seperti lima tahun yang lalu"

Dewa hanya diam. Matanya fokus ke arah layar televisi yang menyala. "Perasaan gue ke lu juga masih sama seperti lima tahun yang lalu" Balas Dewa tanpa berani melihat kearah Shinta. "Teman"

Ketika mengatakan kata itu Dewa berani menatap kearah Shinta yang juga menatapnya tidak percaya. "Diantara hubungan laki-laki dan perempuan mesti salah satunya ada yang mencintai. Gue tahu itu dan gue anggap rasa cinta lu sepuluh tahun yang lalu atau pun sekarang hanya sebatas teman ke gue"

Shinta seketika dipatahkan dengan ucapan Dewa barusan. Perjuangan sepuluh tahun hanya terbalas dengan kata TEMAN. Kata yang terus melekat dan tidak akan berubah sampai kapanpun.

Shinta menundukkan kepalanya. Menutupi wajahnya, agar Dewa tidak dapat melihatnya menangis.

"Lu jahat" Lirih Shinta serak.

Dewa hanya tersenyum. Karena kata itu pantas untuk Shinta cap di dirinya. Untuk kedua kalinya dalam hidupnya, dia membuat Shinta menangis karena penolakannya.

"Gue pantas buat julukan itu"

"Bajingan"
"Brengsek" Shinta terus saja menangis, mengumpat, dan memukuli Dewa yang berada di depannya.

Dewa tersenyum. Melihat Shinta marah sambil mengumpat seperti ini membuatnya ingin tertawa. Shinta begitu lucu saat ini.

"Sini.. Sini... " Dewa menarik Shinta kedalam pelukannya.

"Hiks.. Hiks.. Hiks... " Tangisan Shinta semakin keras saat di pelukan Dewa. Sedangkan Dewa semakin tersenyum lebar mendengarnya.

"Kalo enggak bisa sama gue, kakak gue bisa lu jadiin kekasih. Mumpung dia masih lajang" Bisik Dewa.

"Hah..... Ah... " Bukannya menenangkan Dewa malah membuat tangisan Shinta semakin keras.

"Cup.. Cup.. Cup... Anak cantik enggak boleh nangis"

***
Hari sudah berganti malam, Dinar masih mengurung diri di kamarnya. Menatap kearah jendela yang memperlihatkan taman belakang pekarangan rumahnya. Air matanya seketika jatuh tatkala ingatannya berkelahi di Senar.

Mimpi itu membuahkan hasil yang begitu menyakitkan bagi Dinar. Tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan Senar disana. Seperti kesedihan melanda Senar disana. Hingga terbawa oleh Dinar disini.

Tok.. Tok.. Tok...
"Dinar... Keluar sebentar, ya, sayang. Ayo makan malam" Suara ketukan dibarengi suara mamanya mengalihkan tatapannya kearah pintu yang masih terkunci.

"Dinar.... Kamu enggak ngelakuin hal aneh-aneh kan?" Teriak Karin dari luar dan berkali-kali mencoba membuka pintu.

"Enggak.. Ma... Dinar enggak pengen mati dulu. Dinar pengen ketemu Senar" Sahut Dinar dari dalam.

Kinar bernapas lega ketika mendengar suara anaknya. "Keluar sebentar, ya. Isi tenaga biar ketemu Senar enggak lemah"

"Dinar enggak laper, ma" Dinar pengen Senar disisi Dinar.

"Ya udah kalau enggak laper, mama bawain makanan ke kamar kamu ya. Nanti kamu makan pas laper"

Ceklek.....
Pintu terbuka. Memperlihatkan wajah Dinar yang berusaha menampilkan senyumannya. "Dinar pengen sendirian sebentar saja. Jangan ganggu Dinar" Pintanya.

Karin tersenyum. Meski hatinya perih melihat anaknya sekacau ini. "Apa yang terjadi dengan Senar?"

"Senar baik-baik aja. Cuma... Cuma... Dinar yang merasa Senar enggak baik-baik saja disana" Setetes air mata lagi-lagi tidak bisa Dinar bendung saat menceritakan hal tentang Senar.

"Senar baik-baik saja disana. Kamu harus positive thingking"

"Dinar udah coba. Tapi insting Dinar mengatakan kalau Senar sedang enggak baik-baik saja"

"Kamu makan, ya. Atau mau mama suapin?" Tawar Karin yang langsung mendapat gelengan kepala dari Dinar.

"Kalau enggak mau, nanti tidur bareng mama, ya. Mama khawatir sama kamu"

Dinar mengangguk.

Setelah membereskan kekacauan di kamarnya dan membersihkan diri. Dinar segera pergi menuju kamar mamanya. Dia merebahkan dirinya di atas kasur mamanya sambil menunggu kehadiran mamanya.

"Senar... " Lirihnya saat sekelebat bayangan Senar melintas di pikirannya.

"Kak Dinar.. " Teriak Tere ketika baru memasuki kamar Kinar.

Tere berlari menghampiri Dinar dan memeluknya erat. "Jangan berubah... " Ujarnya diakhir dengan tangisan.

Dinar tertampar dengan ucapan Tere. Selama beberapa hari ini dia meninggalkan keluarganya untuk menyendiri. Hingga membuat Tere menangis dan Karin begitu khawatir terhadapnya.

"Gue rindu kakak yang dulu.. " Dinar tersenyum.

"Apa mesti kak Senar?"

"Iya.. " Jawab Dinar.

"Kakak... "

"Maaf, ya, Tere. Udah buat lu nangis kayak gini. Maafin kakak"

Malam itu menjadi malam dimana pertama kali Dinar melihat adiknya menangis karena dirinya yang diam. Malam hangat untuk mereka bertiga.

.
.
.
.
.
.
.
____________
Detak
Surat
======
25
K

arena beberapa hari terakhir ini author lupa update karena sibuk... Ekhem... Sibuk. Makanya hari ini author up dua chapter.
Terima kasih, enjoy baca enjoy your life.
Salam hangat dari BungahTidur 😉

Detak SuratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang