Detak Surat

20 2 0
                                    

Dinar tidak dapat menahan air matanya untuk kesekian kalinya. Melihat gundukan tanah yang menjulang keatas. Dengan papan nama yang bertuliskan nama ABIMANYU DEWA. Tangisan Dinar semakin pecah tidak tertahankan. Melihat orang yang dekat dengannya kini berada dibawah gundukan tanah tersebut.

Tubuhnya semakin lemah dan tidak tahan menopang tubuhnya sendiri. Hingga terduduk disamping makam Dewa. Tangannya bergerak mengusap papan nama tersebut dan Memeluknya. Tangisannya kembali deras.

Senar yang ada disampingnya sampai tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia hanya melihat Dinar dan sesekali menenangkannya.

"Dewa... " Lirih Dinar di sela isakannya.

Dinar tidak bisa berkata-kata lagi. Semuanya seolah hilang dari otaknya saat melihat apa yang ada didepannya saat ini. Dia melihat kearah Senar.

"Bisa beri aku waktu sendiri?" Mohon Dinar yang dijawab dengan anggukan oleh Senar.

Senar segera pergi dari sana, meninggalkan Dinar sendirian di depan makan Dewa. Mungkin Dinar bisa bebas jika ditinggal sendirian, mengungkapkan semua rasanya yang dia rasakan untuk Dewa.

"De... Wa... "

"Gue datang... Maaf telat, lu pandai nyembunyiin ini semua. Sampai gue dengan mudahnya bahagia saat lu rela ngorbanin diri lu sendiri buat gue bahagia. Padahal gue sendiri udah bahagia saat deket sama lu" Ucap Dinar terisak.

"Gue egois, Wa. Gue lebih mentingin diri gue sendiri dan gak lihat sekitar gue" Dinar menyesali apa yang dia lakukan selama ini.

"Maaf.... Gue orang terbodoh yang udah relain orang sebaik lu pergi"

Dinar terdiam sejenak. "Gue gak kuat Dewa... " Dinar tidak bisa jika harus menahan air matanya. Dia ingat dengan ucapan Dewa kalau itu.

"Lu pernah bilang ke gue. Kalo gue boleh perlihatin apa yang orang lain enggak boleh tahu. Sekarang gue mau lihatin itu ke lu. Gue bingung... " Dinar menarik napas panjang. "Antara seneng atau sedih"

Air mata kembali berlinang. Tidak kuasa saat Dinar mengingat dan melihat kenyataan yang sedang dia hadapai sekarang.

"Gue seneng saat Senar pulang, tapi juga sedih saat lihat lu disini"

"Yang gue harap enggak seperti ini. Gue pengen lu ada disini. Ikut rasain kebahagiaan gue sama-sama. Dewa... "

"Lu udah janji buat gue bahagia. Tapi tetap saja luka masih ada di hidup gue, Wa. Seberusaha apapun gue ngehindar. Lu datangin Senar, tapi lu bawa luka dengan kepergian ini"

"Gue nyesel dengan jawaban gue saat itu. Kalo aja gue tidak berkata seperti itu, mungkin lu masih ada disisi gue sekarang"

"Maaf, Wa. Udah buat lu relain hidup lu demi gue yang egois ini. Maaf... "

Jika saja Dewa ada disisinya saat ini. Mungkin saja Dewa akan menyakinkan Dinar kalau semua ini bukan kesalahannya. Melainkan keputusannya. Dewa akan berusaha menenangkan Dinar agar tidak lagi membuang-buang air matanya. Karena kebahagiaan sesungguhnya telah datang untuknya selamanya.

"Dinar... " Panggil Senar.

Dinar menoleh ke arah Senar. Air matanya kembali menetes dengan derasnya ketika melihat seseorang disamping Senar yang sedang menatap lurus ke arahnya.

"Tante Vivi.. " Lirih Dinar. Dia langsung berhamburan kearah Vivi. Memeluk erat tubuh Vivi. Menangis bersama dalam sebuah pelukan.

"Maafin Dinar, tante.. " Tutur lemah Dinar.

Vivi tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dewa pergi bukan karena siapa-siapa. Tapi ini semua sudah keputusan Dewa dan juga keputusan Tuhan yang memberinya takdir hanya sampai pada titik tersebut. Meskipun dia tidak dapat menerima kenyataan yang terjadi kali ini.

Detak SuratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang