Detak Surat-50

5 5 0
                                    

"Gak nyesel kan ikut gue?"

Dinar menganggukkan kepalanya di barengi senyuman tipis di sudut bibirnya. Untuk sekian kali Dinar mencoba tersenyum tulus. Baru kali ini dia bisa merasakannya.

Dewa ikut tersenyum memandang sosok perempuan di sampingnya yang memperlihatkan senyumannya. Dewa merasa bangga bisa membuat Dinar tersenyum.

"Indah... " Lirih Dinar semakin melebarkan senyumannya.

"Iya.. Indah" Sahut Dewa terus memandang wajah Dinar.

Mengenal Dinar hanya beberapa hari sudah membuat Dewa luluh seluluh-luluhnya pada Dinar sejak pertemuan pertama. Apalagi saat setiap pagi dia disuguhi pemandangan dari balkon rumahnya. Pemandangan dimana Dewa melihat Dinar menangis di teras rumahnya. Satu hal yang membuatnya ingin terus membuat Dinar bisa tertawa kembali.

"Lu senyum cantik" Tukas Dewa tidak mengalihkan sedetikpun dari wajah Dinar.

"Gue tahu, makasih"

"It's okay, kalo lu mau kemana-mana. Cukup panggil gue aja. Sekarang pinjam ponsel lu"

Dinar menatap Dewa bingung. "Kenapa ponsel?"

"Nomor, biar gampang panggilnya"

Dinar berpikir dulu sebelum memberikan ponselnya. "Makasih, ini nomor gue" Ujar Dewa, mengembalikan ponsel milik Dinar. "Kalo lu pengen pergi kemanapun itu, gue siap nganterin"

Dinar hanya diam tidak menanggapi ucapan Dewa. Dia kembali menatap hamparan danau yang indah di depan matanya. Hatinya masih milik Senar dan mungkin selamanya akan sama milik Senar. Tidak akan beralih ke lain hati.

"Sebelum tinggal di rumah sebelah gue, lu tinggal dimana?" Pertanyaan Dinar barusan membuat Dewa terdiam cukup lama sambil terus menatap Dinar yang masih memandang kedepan.

"Kenapa diam? Lu gak tahu jawabannya?"

"Kenapa tanya gitu? Lu kepo?" Kini Dewa bertanya balik.

"Kenapa tanya balik ke gue?" Dinar menatap heran Dewa.

"Karena gue juga heran kenapa lu tanya itu ke gue?"

"Kan gue cuma tanya. Apa enggak boleh?" Balas Dinar berteriak, Dinar sudah tersulut emosi.

Dewa tertawa terbahak-bahak. Melihat Dinar emosi seperti ini sungguh sangat lucu dan menggelitik perutnya.

"Kenapa ketawa?" Heran Dinar. Bukannya menjawab, Dewa semakin tertawa terbahak-bahak yang membuat Dinar semakin penasaran. "Lu gila, kenapa terus ketawa, sih?"

"Lu sadar, enggak, sih? Dari tadi percakapan kita bukan tanya jawab. Tapi tanya dibalas tanya dan gak ada balasan" Jelas Dewa masih sesekali tertawa.

"Itu semua karena lu yang enggak mau jawab, Dewa" Tukar Dinar berdiri dari duduknya.

"Mau kemana?"

"Lu pikir? Pulang lah" Balas Dinar berjalan meninggalkan Dewa sendirian.

Dewa tidak beranjak dari duduknya meskipun Dinar sudah lebih dulu pergi meninggalkannya. Dia memilih menikmati danau yang terkena terpaan sinar matahari sore yang semakin meredup. Mempertambah kecantikan danau dan suasana sore menjelang malam hari ini.

Baru beberapa menit dia kehilangan Dinar. Kini dia merasakan seseorang sedang duduk kembali di sampingnya. Yang sudah dia yakini kalau itu Dinar.

"Kenapa balik?" Tanya Dewa tanpa melihat ke sisi kirinya.

"Gue bakal nyesel kalo pulang sekarang. Disaat lu bisa lihat sunset yang indah, gue bakal nangis sendirian di rumah" Jawaban terdengar dari mulut Dinar.

Detak SuratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang