Detak Surat

8 2 0
                                    

Pukul dua dini hari, Dewa sudah bersiap-siap di depan kamar Dinar untuk merayakan hari ulang tahunnya. Dewa tahu ini sedikit telat. Tapi Dewa berharap dia bisa menjadi orang pertama.

Ketika tangannya membuka kenop pintu kamar Dinar. Betapa terkejutnya Dewa hingga kue yang dia bawa terjatuh berserakan di lantai. Dia segera berlari menghampiri Dinar yang berdiri di tepi balkon kamarnya.

"Dinar.... " Teriak Dewa berlari tergesa-gesa menghampiri Dinar.

Dinar berbalik, tersenyum di wajah sembapnya. Seperti tidak ada hal yang terjadi apa-apa.

"Lu gila... " Dewa langsung meraih pisau yang Dinar genggam begitu erat hingga melukai tangannya. Membuat begitu banyak darah segar bertetesan di lantai.

"Lu mau bunuh diri lu sendiri?" Bentak Dewa yang begitu menggelegar di tengah sunyinya malam.

"Gue mau sakit" Balas Dinar meneteskan air mata. "Gue mau rasain yang Senar rasain sekarang" Lanjutnya.

"Ada apa dengan Senar?" Tanya Dewa.

"Aritmia" Hanya satu kata itu saja. Dewa sudah tahu apa yang Dinar maksud tentang Senar.

Dewa membawa Dinar kedalam pelukannya. Menenangkan diri Dinar yang sudah dapat dia pastikan begitu hancur ketika mengetahui kenyataan yang sebenarnya.

"Selamat ulang tahun Dinar" Lirih Dewa.

Dewa tidak bisa jika tidak ikut merasakan apa yang Dinar rasakan saat ini. Hanya melihat kesedihan Dinar saja sudah membuatnya ikut sedih.

Air mata Dinar yang tiada henti keluar dari kedua kelopak matanya tidak sebanding dengan darah yang keluar dari telapak tangannya. Kesedihannya lebih mendalam daripada perih yang dia rasakan saat ini.

"Senar... Apa dia baik-baik saja?" Pertanyaan itu lolos dari mulut Dinar.

"Dia pasti baik-baik aja"

"Kenapa baru sekarang gue tahu hal ini?. Kenapa dia enggak beritahu gue dari dulu?"

"Mungkin ini waktu yang tepat dia ungkapin hal ini"

Dinar semakin menenggelamkan kepalanya di dada Dewa. Menuangkan segala kesedihannya disana. Tidak peduli jika orang yang sedang dia peluk merasakan sedikit perih dihatinya. Melihat orang yang dia sayang menangis seperti ini di hari yang seharusnya penuh bahagia.

"Obati luka lu dulu, ya" Ucap Dewa.

"Luka yang mana? Luka hati gue? Lu bisa obatin itu?" Dewa terdiam mendapat pertanyaan menggebu dari Dinar.

"Lu bisakan, Wa?" Ujar Dinar dengan tatapan penuh harapan di wajahnya. Menatap wajah Dewa yang hanya terdiam menatapnya sendu.

"Gue obatin tangan lu, ya" Dewa meraih tangan Dinar. Namun langsung Dinar tepis.

"Jangan obatin tangan gue. Obatin hati gue, Wa" Bentak Dinar tanpa sadar.

"Gimana caranya?" Tanya Dewa lagi. "Gue belum tentu bisa"

"Bawa Senar kembali" Jawab lemah Dinar.

Tangan Dinar meraih wajah Dewa. Menempelkan tangannya di wajah Dewa. Membuat darah yang berada di telapak tangan Dinar kini tertempel di wajah Dewa. Dewa hanya diam tidak bisa menjawab pertanyaan Dinar. Bagaimanapun caranya.

"Dia sakit, gue mau dia sembuh"

"Gue ada buat lu, Nar" Lirih Dewa berniat untuk menenangkan.

"Lu bukan Senar, Wa" Dinar mengatakan itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Yang gue mau Senar"

Detak SuratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang