Detak Surat LS

6 2 0
                                    

Hari pertama kehancuran bagi hidup Senar adalah hari dimana dia diagnosa memiliki penyakit ritme suara jantung. Atau yang sering dikenal aritmia.

Penyakit yang juga ibundanya alami hingga meninggalkan dunia ini. Meninggalkannya dan papanya sendirian. Dan kini dia harus menerima kenyataan kalau dirinya juga mengalami hal yang sama dengan mamanya.

Awalnya dia tidak percaya. Namun lama-kelamaan hal itu semakin terasa dan begitu nyata. Hingga akhirnya dia tidak bisa menampik hal tersebut dari kehidupannya. Membuatnya dia berada di tempat yang begitu jauh dari rumah kediamannya. Bertahan untuk bisa bertahan hidup bersama yang lainnya. Meskipun belum ada perubahan yang begitu pesat.

Kini di salah satu wilayah bagian Amerika. Dia memejamkan mata dengan alat pendeteksi detak jantung yang terpasang di tubuhnya. Selang infus dan selang oksigen yang bertengger indah di wajahnya.

"Kamu pasti bisa bertahan, nak" Gumam Sultan dengan gurat kecemasan di wajahnya yang begitu terlihat begitu jelas.

Dia meraih tangan anaknya menggenggamnya begitu erat. Menyalurkan sepersekian energi yang seharusnya dia berikan untuk anak semata wayangnya.

"Papa... " Lirih Senar ketika merasakan deru napas papanya menerpa tangannya.

Wajah pucatnya menatap wajah cemas Sultan. "Senar baik-baik aja" Ujarnya memperlihatkan senyumannya.

Sultan tidak boleh lemah, dia harus kuat dan memperlihatkan kalau dia juga selalu ada untuk Senar disini. "Kamu yang kuat, ya. Kamu bisa. Jangan tinggalin papa sendirian"

Sekuat apapun orang tua menahan kesedihannya di depan anaknya. Pada akhirnya kesedihan itu akan nampak juga. Seperti halnya Sultan, dia berusaha menutupi segala kesedihan dan kegundahan hatinya. Dan kini semuanya sudah terlihat dimata anaknya.

Tangan Senar bergerak menyentuh wajah Sultan. Menghapus air mata yang berlinang di kedua pipi papanya.

"Senar bisa, pa. Papa jangan khawatir" Balas Senar tersenyum menyakinkan. Sebenarnya dia begitu tidak yakin dengan apa yang dia ucapkan barusan. Dengan kondisinya seperti sekarang.

"Tapi kalau Senar tidak bisa. Papa tolong jaga Dinar untuk Senar, ya. Buat dia bahagia, karena Senar enggak pengen Dinar terus menangis. Karena Dinar yang udah buat Senar merasa hidup setelah kehilangan Mama" Senar tersenyum. "Papa bisakan?" Tanya Senar.

Sultan mengangguk. "Kalo kamu bisa kenapa harus papa? Papa yakin kamu pasti bisa"

Senar hanya tersenyum menanggapi ucapan papanya. Sepertinya waktunya tidur akan semakin lebih dekat lagi. Jaraknya dengan kematian mungkin tinggal beberapa hari lagi. Menunggu surat terakhir untuk Dinar dia berikan. Mungkin saat itu juga dirinya akan pergi untuk selamanya.

"Pa.. Senar istirahat lagi, ya" Sultan menggeleng. Dia tidak ingin anaknya memejamkan matanya untuk saat ini.

"Ngobrol sebentar, ya sama papa. Papa rindu ngobrol sama kamu. Jangan tidur dulu" Tukas Sultan.

"Setiap hari kita selalu ngobrol berdua"

"Papa ingin lebih dari itu" Lagi, Sultan meneteskan air matanya. "Kamu mau, ya. Kamu boleh cerita apapun sama papa. Asalkan kamu jangan tidur dulu. Kamu enggak capek seharian tidur?"

Terlihat jelas kalau Sultan ingin anaknya menemaninya untuk selamanya. Bukan hanya untuk kali ini saja.

"Senar capek, pa. Kalo aja Senar bisa rubah, Senar enggak mau seperti ini" Kata-kata Senar begitu menyakiti hatinya sendiri. Namun dia tetap tersenyum mengatakannya.

"Senar pengen bisa kembali ke rumah, enggak harus disini. Main sama temen di rumah, barengan terus sama kalian semua. Dan bisa lihat Dinar setiap hari. Enggak kayak sekarang" Senar begitu tulus mengatakannya. "Senar pengen itu semua kembali" Lirih Senar begitu berat mengucapkannya.

"Kamu bisa, Nar" Sultan menyemangati anaknya dengan mengusap pelan surai hitam anaknya.

"Harapan Senar seperti kuku, pa. Kadang bisa memanjang tinggi kadang juga bisa patah"

"Papa akan selalu dukung kamu"

"Semua orang dukung Senar. Tapi apa Senar bisa sembuh dari penyakit ini? Semua operasi udah Senar jalani. Tapi masih saja kondisi Senar masih sama" Setetes air mata jatuh berlinang. Senar belum cukup menerima kenyataan yang ada.

"Jangan berkecil hati. Tuhan pasti datangin obat terampuh buat kamu. Kamu harus bersabar"

"Senar selalu bersabar menerima semua ujian dari Tuhan. Tapi apa Tuhan tahu kalau Senar juga lelah?" Ucapan itu keluar dari mulut Senar.

Awal yang tadinya dia merasa kuat, kini tidak lagi. Semua harapannya seperti akan terhempas di jurang bersamaan dengan dirinya yang ikut terjun. Merasakan kegelapan dan kesendirian.

"Tuhan tahu kamu lelah. Tuhan maha adil, mungkin ini yang terbaik buat kamu. Kamu harus lebih sabar lagi, ya. Papa yakin kamu bisa"

Sultan dapat melihat raut keputusan asaan dalam diri Senar sekarang. Semuanya telah berubah, Senar yang begitu kuat. Kini telah rapuh.

"Papa selalu doain kamu biar cepat sembuh. Biar kamu bisa wujudin apa yang kamu mau" Sultan terus mengusap kepala Senar pelan.

"Ingat peribahasa ini. Berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Kamu boleh sekarang lemah, suatu hari kamu bisa bahagia selamanya"

Senar berusaha untuk tidak lagi menangis, dia berusaha menampilkan senyumannya meskipun masih diiringi dengan tetesan air mata.

"Makasih, pa"

"Gak perlu bilang makasih. Buat papa sekarang kamu segalanya sampai kapanpun"

"Kamu udah beritahu Dinar soal penyakit kamu?" Tanya Sultan.

"Mungkin dia udah tahu. Apa dia bisa menerimanya?" Tanya balik Senar pada Sultan.

"Papa yakin orang yang sekarang ada disampingnya bisa mengubah segalanya untuk dia" Tukas Sultan.

"Semoga kamu enggak putus asa disana. Aku disini berjuang untuk kamu" Gumam Senar dalam hatinya.

"Aku harap itu... " Ucap Senar begitu ragu.

"Dinar akan baik-baik saja disana. Papa yakin itu"

Harapan. Hanya sebuah harapan yang entah kapan akan menjadi kenyataan. Kesabaran. Kata itu yang selalu menemani harapan. Menanti bersama keihlasan jika harapan yang tidak akan menjadi sebuah kenyataan.

.
.
.
.
.
.
.
____________
Detak
Surat
======
25

Detak SuratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang