Detak Surat-90

31 6 0
                                    

"Dinar..... " Teriakan itu sukses membuat Dinar berbalik.

Disana di seberang lorong fakultasnya, Dinar dapat melihat Stela, teman dekatnya. Saat Stela menghampirinya, senyuman selalu terukir di wajahnya. Namun berbeda dengan hari ini. Air mata tiba-tiba menetes dari kelopak matanya.

Stela berhenti mendekat. Kebingungan terlihat jelas di wajah Stela, melihat Dinar yang tiba-tiba meneteskan air mata ketika  melihat wajahnya.

"Stela... " Panggil Dinar lemah. "Senar.. Dia pergi"

Stela kaget mendengarnya. Ternyata ini alasan Dinar tiba-tiba menangis. Setela membawa Dinar kedalam pelukannya. Membiarkan Dinar menangis di dalam pelukan hangat nya.

"Gue tahu ini, berat. Apalagi dengan Senar yang kuno. Lu harus kuat, kalo lu setiap hari kayak gini. Malah buat Senar bingung dan ikut sedih disana"

Dinar mengangguk pelan. Melepaskan pelukannya. "Bentar lagi udah mau masuk, benerin wajah lu. Gak malu apa di lihatin orang sekelas" Dinar kembali menampakkan senyuman tipisnya.

"Makasih Stela.. "

***
"Ini pesanannya mbak... " Seorang pramuka saji menyodorkan satu chess cake dan segelas latte.

"Makasih... " Sahut Dinar.

"Sendiri aja mbak? Yang biasanya kemana?" Tanya pramusaji yang sering melayani Dinar saat bersama Senar di cafe tempat biasa kami nongkrong berdua.

Dinar sekuat tenaga menahan air matanya. Ia sebisa mungkin menampilkan senyumannya. Biar tidak terlihat keganjalan di benakmu pramuka saji tersebut.

"Dia ada, kok, mbak. Tapi dia enggak datang lagi kesini"

"Maaf, ya, ganggu mbaknya"

"Enggak papa.. "

Dinar menatap nanar kursi kosong yang ada di depannya. Kursi yang dulunya terisi oleh Senar, kini kehilangan sang pemilik. Lagi-lagi air matanya jatuh, Dinar belum bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh.

"Aku disini Senar, seperti yang kamu katakan hari itu" Dinar memejamkan matanya sebentar. Mengingat wajah Senar di pikirannya. "Setiap aku rindu, aku akan datang kesini. Bayangin kamu di depanku"

Dinar diam sebentar, menatap lurus ke arah kursi kosong di depannya. "Susah, Senar. Aku ingin kamu, bukan bayangan saja"

Air mata Dinar luluh meluncur lancar di permukaan pipinya. Tidak peduli orang yang melihatnya menganggap dia gila. Memang benar, sekarang dia sedang gila. Gila karena Senar.

Ia mengeluarkan buku dan pulpen. Masih dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti dia mulai menulis surat balasan untuk Senar yang entah di belahan Amerika sebelah mana.

Dinar disini Senar.
Aku benci ini Senar..

-Dinar

Dinar menutup kembali bukunya. Beberapa tetes air matanya membasahi tulisan singkatnya. Tangannya menghapus air mata yang membasahi pipinya.

Dinar memasukan buku dan pulpennya lalu beranjak dari tempatnya. Disini tidak membuatnya menghilangkan rasa rindunya, malah semakin membuatnya mengingat Senar dan berakhir menangis.

Dinar berjalan santai, melihat ke kiri kanan dengan suasana yang kacau. Jalanan yang biasanya begitu indah dimatanya, kini begitu tidak menarik sama sekali. Seperti hal indah dan menarik ikut hilang bersama dengan Senar.

"Dinar.... " Teriak Stela yang berada jauh di belakang Dinar.

Dinar lupa kalau tadi dia datang ke cafe bersama Stela. Mereka pergi bersama namun berpisah tempat, karena Stela tahu kalau Dinar butuh waktu sendiri di tempatnya bersama Senar.

Detak SuratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang