Pagi hari yang indah. Mentari bersinar menyinari belahan bumi yang gelap. Membawa kecerahan di gelapnya malam. Memberi semangat untuk berjuang di kehidupan.
Dewa pagi ini dia sengaja bangun pagi dan langsung pergi ke rumah Dinar setelah selesai mandi. Tujuannya kesini adalah untuk menikmati teh bersama Dinar dipagi hari yang indah ini.
Dewa yakin Dinar sudah bangun. Karena sejak satu minggu menjadi tetangganya, Dewa tahu kalau Dinar setiap pagi sudah bangun dan duduk di taman samping rumahnya untuk menikmati udara pagi yang sejuk.
"Dewa... Luka kamu" Lirih Karin saat melihat Dewa di depan pintunya.
"Baik tante. Dinar-nya ada?"
Karin mengangguk, pandangannya masih lurus menatap wajah lembab keunguan Dewa. "Kamu masuk aja, dia sedang duduk di taman samping rumah"
"Makasih, Tan"
"Luka kamu... " Dewa menghentikan langkanya lalu berbalik sambil memperlihatkan senyumannya kepada Karin.
"Ini udah enggak sesakit kemarin, kok, Tan. Kemarin kan udah di obati sama Dinar" Perkataan Dewa barusan membuat hati Kinar sedikit tenang namun tetap saja rasa bersalah lebih besar mengingat kejadian kemarin.
Dewa duduk perlahan di samping Dinar yang duduk sambil memejamkan mata. Menikmati hembusan angin pagi.
"Senar.... " Lirih Dinar dan perlahan air matanya menetes.
Wajah sumringah Dewa padam diganti dengan wajah datarnya. Ternyata membuat Dinar tersenyum belum tentu juga selamanya akan tersenyum tanpa bayang-bayang Senar. Nyatanya, Dinar masih menangis hanya menyebutkan nama Senar.
Perlahan tangan Dewa menghapus jejak air mata di kedua pipi Dinar. Lantas Dinar mereka mata dan terkejut melihat Dewa sudah duduk di sampingnya.
"Sejak kapan lu duduk disini?" Tanya Dinar kaget.
"Gue pernah bilang, jangan pura-pura kuat Dinar kalo pada akhirnya lu kelihatan lemah" Tangan Dewa masih setia di pipi Dinar. Menghapus jejak air mata disana.
Dinar segera memalingkan wajahnya dari hadapan Dewa. "Gue gak bisa lihat lu terus nangis. Hah... Susah banget jadi gue" Dinar menoleh menatap Dewa yang menyenderkan tubuhnya di punggung sofa.
"Gue suka seseorang tapi dia milik orang" Ujar Dewa. "Kalo aja dia mau selingkuh sama gue, mungkin itu mudah. Tapi masalahnya dia enggak mau"
"Lu ngatain gue?"
"Ups... Ada orangnya" Tanpa dosa Dewa mengatakan itu sambil menutup mulutnya.
"Keluar dari rumah gue" Usir Dinar.
"Kenapa buru-buru di usir, sih, kak. Biarin Kak Dewa disini sebentar" Sahut Tere ikut bergabung.
"Iya.. Buru-buru banget gue belum nikmatin teh ini" Tukas Dewa mengangkat secangkir teh di atas meja. Lalu meneguknya hingga setengah.
"Itu teh gue" Pekik Dinar.
"Buat lagi, ya"
"Kakak disini aja, biar gue buatin"
Kini tinggal Dinar dan Dewa berduaan kembali. Saling diam sesaat sebelum suara Dewa memecah keheningan pagi itu.
"Lu gak mau obatin luka gue?"
Dinar menoleh, matanya fokus menatap luka yang ada di wajah Dewa. Seketika ingatannya kembali ke kejadian kemarin. Tanpa berkata-kata, Dinar beranjak dari duduknya segera mengambil kotak p3k yang ada di dalam.
Setelah itu, dia kembali duduk di samping Dewa dan mulai mengoleskan salep di wajah Dewa. Dewa tersenyum sekilas. Satu hal yang paling menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak Surat
Teen Fiction___________________________________________ Berada diantara kebahagiaan dan kesedihan. Itulah yang Dinar rasakan saat ini. Saat bahagia, sedih menemani. Saat sedih pun, bahagia turut berpartisipasi. Entah ada apa dengan kehidupannya. Saat dia nyama...