Dewa sudah sampai di depan apartemen Shinta. Tanpa menunggu Shinta membukakan pintu, Dewa sudah lebih dulu masuk karena dia mengetahui kata sandinya.
Pelan-pelan Dewa memasuki apartemen luas yang begitu sepi. Menyusuri ruang tamu yang luas, dapur, dan membuka pintu kamar pemilik apartemen ini. Namun tidak ada tanda-tanda ada orang di sana.
Dewa mengeluarkan ponselnya, menghubungi Shinta. Terdengar suara ponsel berhenti di lantai atas. Suara ponsel membawanya melangkah ke atas.
"Halo.. " Lirih Shinta.
"Hem.. " Sahut Dewa.
"Udah sampai?"
Dewa tersenyum ketika dia sudah berada dilantai atas dan melihat Shinta yang sibuk dengan cat-cat di kanvas yang berada di depannya. Ternyata ini tempat rahasiakan yang belum Dewa ketahui sama sekali.
"Udah... "
Shinta berbalik matanya dipertemukan dengan Dewa yang berdiri di ambang pintu sambil memperlihatkan senyuman manisnya. Shinta dibuat terdiam seperti orang bego. Hanya memandang Dewa yang perlahan mendekat ke arahnya.
"Ternyata lu jago lukis juga" Puji Dewa meneliti lukisan yang sedang Shinta kerjakan.
"Ini cuma hobi"
"Ih... Kayak kenal sama lukisan ini. Wajahnya kayak.... "
Belum selesai Dewa berkata. Shinta lebih dulu menutupi lukisannya dengan kain dan menyuruh Dewa untuk segera keluar dari tempat ini. Shinta tidak ingin Dewa tahu kalau objek/orang yang sedang dia lukis adalah dia.
"Lu keluar sana, gue beres-beres dulu. Entar gue susul. Kalo mau apa-apa tinggal ambil di kulkas aja" Tutur Shinta menutup ruangan rahasianya.
"Untung aja.. " Lega Shinta.
Setelah selesai membersihkan diri. Shinta segera menemui Dewa yang entah sedang apa di bawah sana. Ketika dia berada di pijakan tangga terakhir, dapat Shinta cium aroma sedap masakan.
Langkah Shinta membawa tubuhnya menuju dapur. Yang disana sudah ada Dewa, sibuk dengan alat masak dan celemek yang melingkar di tubuhnya.
Shinta segera duduk di meja baru dapur. Menyaksikan Dewa sibuk memasak. Sesekali juga mencomoti masakan Dewa. Bukannya marah saat waktu masaknya diganggu. Dewa malah tersenyum ramah.
Satu hal ini yang susah buat Shinta menganggap Dewa hanya sebatas teman. Semua perhatian yang diberikan seperti perhatian lebih dari sekedar teman di mata Shinta.
"Stop senyum didepan gue. Lu semakin buat susah" Gumam Shinta yang hanya terdengar olehnya.
"Sejak kapan lu suka lukis?" Tanya Dewa.
"Sejak dulu" Balas Shinta lirih.
"Kenapa gue enggak tahu"
"Karena lu gak suka ngusik kehidupan pribadi gue. Tapi dengan cara lu itu udah ngusik kehidupan gue. Dan buat gue jatuh cinta" Balas Shinta semakin melemahkan suaranya di akhir ucapannya.
"Shin.. " Panggil Dewa. Shinta hanya mendongak kepalanya.
"Gimana keadaannya" Tanya Dewa.
Shinta tahu kemana jalur pertanyaan Dewa barusan. "Semakin memburuk"
"Apa gue bisa?" Dewa terdiam sejenak. Memandangi masakannya yang hampir selesai. "Apa gue harus berhenti dan ngalah?"
"Enggak... Lu bisa, dia juga bisa" Tegas Shinta.
"Itu cara terbaik buat kita semua"
Tidak ada jawaban dari Shinta. Namun sebuah pelukan dari belakang menjawab ketidak relaan. "Jangan... Gue setiap hari doa ke tuhan, biar kalian berdua gak harus berkorban satu sama lain. Gue gak mau" Lirih Shinta dalam pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak Surat
Teen Fiction___________________________________________ Berada diantara kebahagiaan dan kesedihan. Itulah yang Dinar rasakan saat ini. Saat bahagia, sedih menemani. Saat sedih pun, bahagia turut berpartisipasi. Entah ada apa dengan kehidupannya. Saat dia nyama...