CHAPTER 51 : Hope & Beg
Tidak ada sesuatu yang benar-benar adil di dunia ini. Sama halnya dengan kehidupan manusia. Michelle merasakan bagaimana ketidakadilan itu membuatnya berada pada posisi seperti sekarang ini. Rasanya kebahagian adalah sebuah unsur semu yang jauh dari kata kekal untuk dirinya.
Dia memegangi kepalanya yang masih cukup pening setelah sadarkan diri. Luka-luka di tubuhnya sudah diobati, begitu pula dengan pernapasannya yang mulai stabil setelah diberikan oksigen. Beruntung dia tidak cukup lama menghirup udara dari gas beracun itu.
"Michelle." Pintu itu terbuka dan menampilkan wajah panik Riordan ketika menatap putrinya yang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Riordan mendekat dan memeluk tubuh ringkih Michelle yang masih lemas. "Katakan pada Daddy apa yang kau rasakan? Apakah kau merasa kesakitan?"
"Aku tidak apa-apa, Dad." Matanya yang sembab jelas menunjukan sebuah kebohongan namun Riordan tak ingin medesaknya. Bibir pucat itu bergetar hebat ketika menanyakan, "Je-remy.., bagaimana keadaannya? Apakah dia—"
Nama Jeremy adalah yang pertama kali melintas di dalam pikirannya.
"Gedung itu sudah hancur akibat ledakan bom. Tidak ada lagi yang tersisa. Tetapi untungnya, Sean berhasil membawa Jeremy keluar sepuluh detik sebelum bom itu benar-benar menghancurkan gedung dan orang-orang yang gugur di dalamnya."
Ada sedikit harapan yang awalnya dia pikir sudah pupus. "Dimana dia sekarang?"
"Dia berada di ruang ICU lantai enam. Keadaannya sangat memprihatinkan. Dia kehilangan banyak darah akibat peluru yang berhasil menembus bagian tubuhnya. Beberapa organ penting tubuhnya juga nyaris hancur karena timah beracun itu. Dua belas buah peluru dengan jenis yang berbeda berhasil di keluarkan dari tubuhnya. Sebuah keajaiban besar dia masih mampu bertahan walau dokter berkata sangat kecil kemungkinan jika dia bisa selamat. Sekalipun dia bertahan mungkin dia tidak akan bisa hidup normal lagi."
"Maksudmu?"
"Beberapa organ dalamnya rusak, kemungkinan besar tubuhnya akan mengalami lumpuh total."
Michelle menghusap gusar wajahnya. Air matanya menitih. Memori beberapa saat yang lalu kembali berputar di kepalanya. Bagaimana Jeremy memeluknya, menggenggam pergelangan tangannya ketika berlari, melindunginya dari serangan Hannah. Pria itu menepati janjinya untuk selalu melindungi Michelle sekalipun dia harus mengorbankan nyawanya sendiri.
"Dad, jika saja Jeremy tidak datang untuk menolongku, aku pasti sudah mati di dalam gedung itu. Seharusnya aku yang menanggung rasa sakit yang dia rasakan."
"Setidaknya dengan cara itu dia menebus kesalahannya setelah banyak hal buruk yang dia lakukan padamu."
Kembali memeluk Michelle, Riordan benar-benar merasa tidak tega melihat keadaan Putrinya yang seperti ini. Sebagai seorang Ayah, dia selalu menginginkan kehidupan yang layak untuk Putrinya. Namun karena kekuasaan yang dia miliki, dia justru menjerumuskan Michelle ke dalam lingkaran setan yang sama sekali tidak Michelle pahami sejak dulu.
"Terakhir kali kami bertemu, aku bahkan mengusirnya dan berkata bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkanku secara berlebihan. Jeremy harus bangun dari masa kritisnya agar aku bisa mengucapkan maaf sekaligus berterima kasih. Tolong panggil semua dokter hebat negeri ini untuk menolongnya, Dad."
Riordan mengangguk sembari menghusap punggung Michelle. Ya, dia pun turut menyesali semua ini. Sebesar apapun dia membenci Jeremy karena dianggap kurang baik dalam memperlakukan Michelle, pria itu nyatanya tidak pernah mengkhianatinya. Riordan sudah menaruh kepercayaan kepada orang yang salah—orang yang justru menjadikan Jeremy sebagai kambing hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Of Blackness
Action"𝙔𝙤𝙪 𝙢𝙖𝙙𝙚 𝙢𝙚 𝙗𝙚𝙡𝙞𝙚𝙫𝙚 𝙩𝙝𝙚 𝙞𝙢𝙥𝙤𝙨𝙨𝙞𝙗𝙡𝙚 𝙘𝙤𝙪𝙡𝙙 𝙗𝙚 𝙥𝙤𝙨𝙨𝙞𝙗𝙡𝙚." Kelompok Crudelta dipimpin oleh Marvel Ricardson bertujuan untuk balas dendam atas kematian tragis Sang Kakak akibat kekejaman Ketua Mafia Senior De...