CHAPTER 53 : Don't Watch Me Cry

2.2K 169 166
                                    

CHAPTER 53 : Don't Watch Me Cry

Langkah kakinya begitu tergesa-gesa setelah turun dari mobil. Pikirannya hanya dipenuhi oleh bayang-bayang akan kondisi Jeremy saat ini. Michelle sangat khawatir, bahkan dia berharap pintu lift di depannya terbuka lebih cepat dari biasanya.

Lorong kosong itu penuh akan suara dari hak sepatunya. Mengesampingkan rasa nyeri dan kemungkinan lecet pada kakinya. Hingga dia berhasil menemukan Riordan serta para anggotanya yang berkumpul di depan ruangan medis.

Perasaannya semakin tidak enak.

Michelle menerobos mereka untuk bisa masuk ke dalam. Roirdan bahkan kesulitan mengalau pergerakannya yang begitu tiba-tiba.

"Apa yang ingin kalian lakukan?" Tanyanya dengan nada tak bersahabat saat seluruh alat bantu Jeremy telah dicabut dan berniat menutup wajah pucat Jeremy menggunakan kain. Dia nyaris menjatuhkan diri jika Riordan tidak memegani kedua pundaknya dari belakang, "Dad, ini tidak seperti yang aku bayangkan kan? Ini hanya mimpi buruk kan?"

Dengan wajah penuh penyesalan, Riordan pun berkata. "Jeremy tidak tertolong."

"Tidak mungkin." Bagaikan ada bongkahan batu yang menghantam tepat di dadanya hingga menyulitkannya untuk bernapas. "Jeremy sudah berjanji untuk sembuh. Dia bilang ingin melihat senyumku."

"Kau harus kuat, Michelle."

Air matanya mulai turun. Dia menangis tanpa suara. Masih berharap jika dia akan segera bangun dari mimpi buruk. Setelah menampar wajahnya beberapa kali, dia sadar bahwa ketika takdir sudah berkehendak tak akan ada satu orang pun bisa mencegahnya. Termasuk kematian.

Michelle melepaskan diri dari Riordan, menjatuhkan lututnya di dekat brankar sembari membuka kain yang menutupi wajah Jeremy. Dia menyentuh dengan tangannya yang bergetar. Rasanya sangat dingin bak es.

"Jeremy, kau masih bisa mendengarku?" Dia meraih pundak Jeremy kemudian mengguncang-guncangnya dengan keras tetapi tak ada respon apapun. "Dokter, pasangankan kembali seluruh alat-alat itu ke tubuh Jeremy. Dia butuh semua itu untuk sembuh. Ayo cepat lakukan!"

"Sayang, tenangkan dirimu." Riordan mendekat berusaha menarik tangan Michelle namun justru mendapat tepisan keras.

"Jeremy tidak mungkin meninggalkanku, Dad." Tangisannya semakin kencang. Dia memeluk tubuh terkula itu dengan erat. Merasakan bagaimana dinginnya kulit pucat Jeremy ketika bersentuhan dengannya. "Kemarin kau bilang akan selalu mencintaiku, mengapa sekarang kau justru pergi jauh? Siapa lagi yang akan mencintaiku? Siapa yang bersedia melindungiku sebesar pengorbananmu?"

Michelle menarik napasnya dengan susah payah, "Seharusnya aku yang menerima semua luka ini. Seharusnya aku yang merasakan bagaimana sakitnya dirimu. Mengapa bukan aku saja yang mati?"

"Michelle, jangan berbicara seperti itu" Riordan memperingati. "Kau tidak bisa menyalahkan takdir."

"Tapi itu memang benar, Dad. Aku lah penyebab kematian Jeremy."

Sekali lagi Michelle menatap wajahnya. Tidak ada yang berubah, Jeremy tetap tampan dalam kondisi apapun. Wajah itu selalu menemani hari-harinya. Memang tidak selalu indah, tapi Jeremy berhasil meninggalkan kenangan yang sulit dilupakan. Apalagi pria itu sudah merelakan nyawanya untuk membuat Michelle tetap hidup dan selalu tersenyum.

"Jika aku bisa diberi satu kali kesempatan, aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin berada disisimu selamanya. Aku ingin dirimu. Kau juga masih ingin bersamaku kan? Bangunlah, Jeremy. Aku mohon bangunlah!"

Michelle menghusap air mata di pipinya kemudian menggenggam erat tangan Jeremy. "Aku masih ingin mendengarmu memanggilku Sweety. Bukan kah itu panggilan kesayanganmu untukku?" Dikecupnya punggung tangan Jeremy berulang kali. "Ayo panggil aku dengan sebutan itu lagi kemudian aku akan memelukmu dengan erat, aku tidak akan mengabaikanmu jika jadwal kita terbentur. Aku akan memberikan semua waktuku untukmu. Aku berjanji." Dia menghela napas kecewa, "Kenapa kau diam saja? Ayo cepat katakan, Jeremy. Katakan!"

Sweet Of BlacknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang