CHAPTER 41 : Déjà vu

2.2K 170 228
                                    

CHAPTER 41 : Déjà vu

Sudah satu minggu berlalu dan Michelle masih betah meladeni sikap over protektif kekasihnya. Bukan karena dia tidak menyukainya, justru dia senang mendapat perhatian lebih walau ada beberapa hal yang menurutnya tak masuk akal. Salah satunya, Michelle dilarang menggunakan ponsel padahal pekerjaannya membutuhkan sarana komunikasi.

Pernah suatu ketika Michelle mencoba menyuarakan argumennya di depan Marvel dengan berkata, "Ponsel adalah benda paling penting untuk setiap orang,l. Aku berjanji tidak akan membalas pesan dari nomer asing. Aku hanya akan membalas pesanmu dan pesan mengenai bisnisku."

"Kau terlalu polos untuk hal-hal yang berbahaya." Marvel menolak ucapannya dengan cara sehalus mungkin, "Atau kau memang masih berharap jika orang yang mengirimkanmu pesan adalah Jeremy?"

"Jika Jeremy memang masih hidup bukan kah itu kabar baik?"

"Dan setelah itu kau ingin kembali padanya?"

Michelle mengernyit heran. Awalnya dia pikir perasaan Marvel adalah murni kekhawatiran. Tapi saat kalimat itu terucap serta melihat guratan kekesalan di wajahnya, dia sadar bahwa Marvel sedang merasa cemburu.

"Tidak ada istilah membuang sesuatu yang lebih baik untuk sesuatu yang lebih buruk. Apalagi itu masa lalu, aku tidak mau mengulang sebuah cerita yang sudah ku ketahui bagaimana akhirnya." Michelle tersenyum tipis lalu menghusap guratan di wajah Marvel yang perlahan hilang, "Kau adalah pilihan terakhirku. Aku tidak ingin yang lain."

Begitulah cara Marvel membuat Michelle tunduk akan perintahnya. Michelle sudah terbiasa menghindari percikan api yang bisa membuat sebuah hubungan terbakar. Maka dia memilih untuk mengalah. Toh, Marvel memang melakukan itu untuk kebaikannya.

Michelle memijat pelipisnya sejenak. Dokumen-dokumen di atas meja kerjanya belum seluruhnya diperiksa. Dia disibukan dengan persiapan kegiatan launching produk kosmetik terbaru berupa eye shadow dan lipstik dengan warna-warna yang lebih berani.

Tidak adanya Hannah cukup membuatnya terbebani, biasanya disaat-saat seperti ini pertolongan Hannah adalah hal yang paling dia butuhkan.

"Permisi." Suara ketukan pintu mengintrupsi Michelle untuk mendongak. Sosok Erica terlihat setelah pintu terbuka. "Maaf jika aku mengganggu waktumu. Bolehkah aku masuk? Ada yang ingin aku bicarakan."

"Silahkan, Erica."

Erica duduk di hadapannya. Terlampau anggung dan sopan sampai-sampai Michelle mengerti mengapa Marvel sempat jatuh cinta dengan perempuan tersebut.

"Sepertinya aku tidak perlu berbasa-basi. Kedatanganku kemari karena aku ingin mengundurkan diri dari kontrak perjanjian kerjasama sebagai brand ambassador produk kencantikanmu. Aku tahu ini sangat mendahului waktu yang sudah disepakati. Tentu ada sanksi yang akan aku terima dari pihak perusahaan dan aku siap menerimanya."

"Apa kau tidak nyaman selama bekerja sama dengan perusahaan ini?"

"Bukan. Tentu aku sangat nyaman. Kau sangat baik padaku, Michelle." Sahunya lembut, "Aku tahu ini tidak terdengar profesional. Tapi ketika aku melihatmu, aku selalu teringat dengan pengkhianatan Marvel. Jujur, sampai detik ini aku masih sangat mencintainya."

Dilanda rasa bersalah, Michelle memalingkan mata beberapa kali, berusaha tidak terganggu dengan kesedihan di mata Erica.

"Dia pasti memperlakukanmu layaknya Ratu 'kan? Dulu aku pernah ada di posisimu. Dia selalu menebar kalimat-kalimat cinta sebelum aku pergi bekerja dan mengucapkan semoga aku memimpikan dirinya ketika aku bergegas untuk tidur. Dia akan menggenggam tanganku ketika para pria berusaha menggodaku. Lalu dia akan menciumku dan berkata bahwa aku hanya miliknya."

Sweet Of BlacknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang