Episode 04.

254 44 4
                                    

“Ini serius, Alya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ini serius, Alya.” Aku berseru sebal.

Alya mengangkat bahu santai, tidak peduli. Dia kembali mencoret-coret kertas gambarnya yang mulai penuh.

Waktu menunjukkan pukul enam pagi. Bel masuk masih setengah jam lagi, tapi aku dan Alya sudah duduk manis di bangku kami.

Hari ini aku memutuskan untuk datang lebih awal. Tentu saja demi merebut kembali tempat dudukku. Aku tidak akan membiarkan si anak baru yang sok tampan itu terus mendudukinya. Alya juga sama, dia datang lebih awal dari biasanya. Sebenarnya, Alya tidak terlalu ingin merebut kembali tempat duduknya, dia hanya terpaksa menurutiku. Lebih tepatnya dia menurutiku karena tidak ingin mendengarku mengomel sepanjang hari.

“Kamu sedang bermimpi, Ann. Itu tidak sungguhan. Bukankah akhir-akhir ini kamu memang sering melamun dan berhalusinasi?” Alya menghentikan gerakan tangannya, lantas menoleh ke arahku dengan tatapan datar.

Beberapa menit lalu, aku sibuk menceritakan semua kejadian semalam pada Alya. Aku sendiri tidak yakin apakah itu sungguhan terjadi atau hanya mimpi.

Semalam setelah bunyi berdebum yang memekakan telinga itu, aku terbangun dengan napas tersengal. Tubuhku gemetar hebat, jantungku berdetak kencang, keringat membasahi sekujur tubuh, persis seperti orang yang baru saja melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki.

“Lihat, kamu melamun lagi, Ann!” Alya berseru mengejutkanku.

“Hei, tidak perlu berseru seperti itu, suaramu membuatku kaget, Alya!” Aku balas berseru ketus.

“Terserah kamu saja, Ann.”

Alya melambaikan tangan tidak peduli. Entah apa yang merasukinya, berbicara dengan Alya jadi sangat menyebalkan sekarang.

Tidak ada yang bisa dilakukan, aku memutuskan mengambil novel dari dalam ranselku, membacanya untuk mengusir rasa kesal karena perdebatan dengan Alya. Suasana kelas pagi itu cukup lengang sebelum akhirnya seseorang yang menyebalkan itu datang.

“Hei, kenapa kamu duduk di sini?” Seorang laki-laki berseru ketus sambil menepuk ujung mejaku.

Aku mendongak, menatapnya. “Memangnya ada peraturan yang melarangku duduk di sini? Tidak ada, bukan?”

Dia terdiam setelah mendengar ucapanku. Awalnya aku pikir laki-laki yang menyebalkan itu sudah menyerah, tapi ternyata aku salah. Bukannya mengalah, dia justru semakin marah. Seharusnya aku tahu, dia tentu saja tidak akan tinggal diam dan menyerah begitu saja.

“Tapi kemarin aku yang duduk di sini!” serunya seolah bangku ini benar-benar miliknya seorang.

“Hei, dua hari lalu aku yang duduk di sini. Ini tempat dudukku, kamu yang merebutnya kemarin. Apa kamu tidak ingat?”

“Tidak bisa begitu, Ann. Aku yang berhak duduk di sini!”

“Tentu saja bisa. Ini bukan bangku nenekmu, Raka! Jelas-jelas aku yang datang duluan. Mau mengelak apalagi?”

The Seekers of The Lost Hope | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang