“Kalian tahu? Sebenarnya aku merasa aneh dengan perempuan misterius itu.” Raka bergumam saat kami bersiap menaiki anak tangga menuju menara.
Jika perkiraanku tidak salah—aku rasa—saat ini sudah tengah malam. Di luar, bulan bersinar lebih terang, sedikit membantu menyinari aula yang minim cahaya karena semua lampung gantung telah hancur menjadi serpihan akibat pertarungan tadi.
Aku menatap sekeliling, ruangan itu tidak lagi sama. Bangunan aula yang semula tampak megah, kini hanya tinggal sebagian yang masih utuh, dinding sisi kanan telah hancur menjadi reruntuhan.
Beruntung, tiang penyangga yang tersisa masih bisa menopang bangunan di atasnya.
“Mungkin itu hanya perasaanmu saja, Raka,” sahut Lumi yang berdiri di sebelahku.
Raka mengedikkan bahu. Dia tidak setuju dengan pendapat Lumi. Entahlah, kali ini—aku rasa—perkataan Raka ada benarnya. Sejak pertama kali muncul perempuan itu memang terasa aneh dan tidak asing, mengingat suaranya persis dengan suara yang selalu menghantuiku belakangan ini.
Namun, ada yang lebih aku pikirkan di luar semua itu. Bara sepertinya tidak baik-baik saja. Aku bisa melihat dari mata sayu dan wajahnya yang semakin pucat, Bara butuh istirahat tapi dia tidak mau mengatakannya kepada kami. Bara memilih berbohong agar tidak membuat kami khawatir dan tetap fokus menemukan Alya.
“Kalian yakin perempuan itu menyembunyikan para tawanan di menara?” Pangeran Archilles yang sedari tadi hanya diam dan memperhatikan, kini ikut bersuara.
Raka mengangguk mantap. Dia memang yang mengatakan bahwa Alya dan yang lainnya ditahan di menara.
“Ya. Aku sangat yakin karena aku melihat siluet seseorang di jendela menara sebelum kita memasuki kastil ini tadi.”
“Baiklah,” kata Pangeran Archilles singkat.
Setelah yakin bahwa menara adalah tempat si perempuan misterius itu menyembunyikan Alya dan Nona Ravenna, kami segera melangkah menaiki anak tangga menuju lantai ketiga.
Sama dengan lantai paling bawah, sebagian dinding dan ornamen seni di lantai kedua dan ketiga juga hancur, menyisakan puing-puing tiang dan lukisan yang tidak asing bagi kami. Lukisan sama seperti yang kami temukan di ruangan misterius, lantai empat gedung sekolah.
Tiba di lantai paling atas, kami terdiam sejenak menatap anak tangga batu di lorong sempit. Aku mendongak, menatap lorong yang sepertinya tidak berujung, tidak ada pintu menara di sana.
“Seberapa tinggi tangga ini? Mengapa aku tidak bisa melihat ujungnya?”
“Mungkin tingginya mencapai puluhan meter, Ann, mengingat tinggi kastil ini kira-kira mencapai tujuh puluh meter,” jawab Raka. Entahlah, dia sedang serius atau bergurau karena jika itu benar, maka tamatlah riwayat kami.
“Apa tidak ada jalur lain menuju menara itu? Aku rasa, aku tidak sanggup mendaki setinggi itu,” tanya Lumi yang sepertinya juga keberatan.
“Sayangnya tidak ada, Lumi, hanya tangga ini satu-satunya akses menuju menara. Kastil ini terlalu besar dengan lorong-lorong panjang di banyak tempat, mencari jalur lain justru akan membuat kita kehilangan banyak waktu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Seekers of The Lost Hope | END
FantasySeorang murid perempuan tiba-tiba saja dikabarkan menghilang. Tidak ada satu pun orang yang tahu dia berada di mana, hingga satu minggu setelahnya satu murid lagi menghilang. Anna yang kehilangan dua temannya memutuskan melakukan pencarian secara d...