Episode 01.

632 70 11
                                    

Hujan turun deras, angin berhembus kencang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan turun deras, angin berhembus kencang. Jauh di atas sana, awan hitam sedang bergelung memenuhi langit, lantas menjatuhkan ribuan tetes air ke bumi dengan ditemani gemuruh petir yang terdengar bersahut-sahutan. Udara dingin segera merayapi tubuhku yang baru saja keluar dari dalam rumah. Sejak tadi, aku menunggu Papa untuk mengantarku ke sekolah. Karena bosan, aku memutuskan untuk menunggu di teras, menatap air hujan yang berjatuhan dari atap rumah.

“Yuk berangkat, Anna!”

Aku mengangguk, bergegas mengikuti langkah kaki Papa yang sudah lebih dulu memasuki mobil.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, tidak banyak yang Papa bicarakan denganku—lebih tepatnya tidak ada. Raut wajah Papa terlihat lelah. Proyek besar yang sedang dikerjakannya dari tiga hari lalu pasti sangat menyita waktu dan pikiran Papa.

“Pa,” panggilku, memecah lengang.

“Iya, Anna?”

“Papa sedang banyak pikiran, ya?”

Itu sebenarnya hanya pertanyaan basa-basi. Aku tahu betul Papa sedang lelah dan banyak pikiran, tidak perlu dipertanyakan lagi.

Papa menoleh ke arahku, lantas mengulum senyum. “Maaf ya, tiga hari terakhir Papa sibuk mengurus proyek, jadi tidak sempat mengobrol banyak denganmu.”

“Iya, Pa, Anna tahu kok.”

Setelah percakapan itu, aku lebih memilih untuk diam, menatap jalanan kota—yang padat merayap—dari kaca mobil dengan ditemani klakson kendaraan yang memenuhi pendengaran. Musim penghujan, jalan becek terlihat di mana-mana. Puluhan kendaraan tidak mau mengalah, merangsek, menyalip dari sembarang arah, membuat macet.

Lima belas menit meniti jalanan, mobil Papa akhirnya tiba di depan gerbang sekolah. Aku bergegas mengenakan ransel yang sejak tadi berada di pangkuanku, lantas berpamitan pada Papa.  

“Pakai payung, Anna!”

Aku menggeleng samar. “Anna tidak perlu payung, Pa.”

“Nanti seragam kamu ba—“

“Tinggal gerimis kok, Pa.” Aku memotong ucapan Papa sambil mencoba meyakinkannya dengan menengadahkan telapak tangan lewat kaca mobil yang terbuka.

Papa tersenyum, seolah tahu bahwa aku pasti menolak untuk membawa payung. Dia sudah sangat hafal dengan tabiat anak gadisnya yang keras kepala. “Baiklah,” ucap Papa akhirnya.

Aku mencium punggung tangan Papa dan bergegas keluar dari mobil. Hujan sudah mulai reda, menyisakan genangan air yang memenuhi halaman sekolah. Kakiku lincah menghindarinya sambil sesekali berlari kecil mengingat sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi.

“Anna!” seru seseorang dari kejauhan.

Aku menoleh. Suara melingking yang khas itu berhasil membuat murid-murid lain yang sedang berlarian menuju koridor juga ikut menoleh.

The Seekers of The Lost Hope | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang