Episode 05.

236 44 4
                                    

Pukul tiga sore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul tiga sore.

Semua murid berhamburan menuju ke lapangan basket, berdesakan dan tidak ada yang mau mengalah. Beberapa di antaranya bahkan berlarian memperebutkan barisan paling depan.

Itu juga yang terjadi pada hampir semua teman kelasku, mereka sangat antusias, kecuali aku yang justru memperlambat langkah, membiarkan puluhan anak mendahuluiku. Sedangkan Alya, dia sudah lebih dulu pergi ke balai kota.


Pertandingan baru saja dimulai, terlihat di tengah lapangan sudah ada dua calon kapten klub basket saling berebut bola yang baru saja dilempar oleh wasit.

Di pinggir lapangan, segerumbulan murid perempuan sedang berteriak menyebutkan nama Raka dan Bara, seperti memberi semangat. Aku yang tidak berminat menonton segera berjalan cepat menuju gerbang sekolah.

Tanganku yang bebas terangkat untuk menghentikan angkutan umum yang sedang lewat. Karena mulai hari ini Papa tidak bisa menjemput, mungkin sampai seminggu ke depan aku harus pulang naik angkot.

Dua puluh menit berlalu, angkot yang aku tumpangi akhirnya merapat di depan rumah. Aku beranjak turun, lantas memberikan pecahan uang lima ribuan kepada sopir angkot.

"Sore, Ma," sapaku pada Mama yang terlihat sedang sibuk menyapu halaman.

"Sore, Ann."

"Anna naik dulu ya, Ma. Mau mengerjakan PR."

"Jangan lupa mandi, Ann. Nanti kalau sudah jam makan malam turun, ya!"

"Siap, Ma."

Setelah aku langsung naik ke lantai dua, lantas masuk ke dalam kamar, meletakkan ransel, berganti pakaian, kemudian bergegas menuju meja belajar. Pak Ron memberi PR matematika yang lumayan banyak gara-gara kejadian tadi pagi.

Detik demi detik aku habiskan untuk mencoret-coret kertas, mengetuk meja belajar, lantaran soal-soal yang diberikan Pak Ron cukup sulit hingga membuatku berkali-kali mengembuskan napas kasar.

Sudah selama ini, tapi hanya separuh soal saja yang berhasil aku kerjakan, separuh yang lain masih kosong. Mengerjakan soal-soal ini membuat kerongkonganku menjadi lebih cepat kering. Oh, sepertinya berjalan sebentar, mengambil air minum dapat membuat pikiranku kembali segar.

Aku beranjak menuruni anak tangga, berlari kecil menghampiri Mama yang sekarang sedang santai membaca majalah di ruang tengah.

"Mama, nanti Papa pulang jam berapa?"

Mama menoleh, menyelidik ke arahku. "Mungkin waktu makan malam seperti kemarin. Memangnya kenapa, sih, nanya-nanya jam pulang Papa? Biasanya juga kamu cuek."

Aku menggeleng. "Biasanya Anna peduli kok, tapi hari ini lebih peduli lagi. Ann sedang menunggu memori kamera yang dibawa Papa pagi tadi."

"Kamu jangan terlalu berharap, bisa saja memorimu ternyata tidak bisa diperbaiki." Mama mengucapkannya sembari tertawa kecil.

The Seekers of The Lost Hope | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang