Episode 14.

174 37 4
                                    

Pukul lima sore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul lima sore.   

Matahari beranjak turun menuju garis cakrawala, cahaya yang masuk mulai berkurang membuat ruang kelas semakin gelap. Aku berkali-kali mendongak, melirik jam dinding yang tergantung di atas papan tulis.

Ini sudah sangat telat untuk mengikuti kegiatan klub, aku memutuskan untuk bolos, begitu juga dengan Raka dan Bara. Entah, siapa yang memimpin latihan klub basket sore ini. Lihatlah, kapten dan wakilnya sama-sama di sini, tidak ikut latihan, bilang ada urusan mendadak.

“Ayolah, Ann, jangan melirik jam terus, kamu harus konsentrasi.” Raka berseru membuyarkan lamunanku.

Aku mendengus kesal, kembali sibuk dengan buku dan kertas di hadapanku. Sudah satu jam berlalu, tapi kami bertiga masih terjebak di kelas, berusaha memahami tulisan-tulisan yang dengan diksi kalimat yang cukup membingungkan.

Itu seperti teka-teki besar yang harus dipecahkan. Tidak semua kalimatnya bisa aku pahami, tapi setidaknya aku mulai bisa menebak maksud sajak itu.

Aku terdiam begitu membaca baris terakhir paragraf pertama dari sajak. “Hei, lihatlah, sepertinya aku menemukan sesuatu yang menarik!” Aku berseru, membuat Raka dan Bara yang awalnya duduk terkantuk-kantuk menjadi berdiri tegap. 

“Ada apa, Ann?”

Ruang terkunci akan jadi titik bermula. Aku menulis ulang kalimat itu di kertas kemudian menggabungkannya dengan kalimat kedua. Ambisi untuk mimpi yang terlalu besar dapat membawamu tersesat dan kehilangan arah tapi jangan risau negeri yang tak terlihat akan menyambutmu hangat.

“Apakah kalian mengerti maksudku?”

Raka dan Bara serempak menggeleng dengan raut wajah bingung. Aku tidak terkejut jika yang menggeleng hanya Bara, tapi kali ini Raka juga ikut menggeleng. Astaga! Aku tidak pernah menyangka Raka yang selama ini sok pintar ternyata tidak bisa memahami kalimat sederhana itu.

Aku menghela napas pelan, mencoba menjelaskan kepada mereka satu-dua kalimat yang aku tahu. “Jika kalian pahami, kalimat ini seperti memberikan petunjuk. Lihat, kalimat ambisi untuk mimpi yang terlalu besar akan membawamu tersesat dan kehilangan arah, itu seperti merujuk pada fakta hilangnya Lumi dan Alya, bukan?”

Raka mengangguk, dia mulai mengerti arah pembicaraan. “Itu berarti Lumi dan Alya juga sedang berharap besar pada sesuatu, bukan?”

“Aku juga berpikir seperti itu, aku rasa mereka berdua memiliki ambisi yang terlalu besar. Itu juga yang membuat mereka bisa memunculkan tulisan di buku ini, seperti Bara.” Aku terdiam, teringat sesuatu. 

“Kenapa, Ann?” Bara mengernyitkan dahi menatapku.

“Aku tahu, sebelum Alya menghilang dia dalam keadaan tidak baik-baik saja.”

“Maksudmu?”

“Sehari sebelum menghilang, Alya mengikuti festival melukis di balai kota. Dia sangat bersemangat, ingin sekali membawa pulang piala tahunan pemenang lomba melukis tapi sayangnya dia gagal.

The Seekers of The Lost Hope | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang