Singgasana sang tuan menyimpan purnama kelam. Di hamparan padang rumput yang luas ada sesuatu yang jika tidak ada cahaya kau bisa melihatnya tapi jika terkena cahaya dia akan menghilang. Sebuah pusaka penunjuk kegelapan bersemayam di bawah sana. Hentakkan kakimu, di dalam lorong kegelapan yang melegenda kau akan menemukan pintu rahasia. Siapapun yang masuk, tidak akan pernah bisa keluar, kecuali jika kau membawa sang tuan.
Sebuah teka-teki tertulis dengan tinta merah darah. Kami bertiga saling tatap, terdiam untuk waktu yang cukup lama. Tiga jam kami habiskan untuk menyisir semua buku di perpustakaan istana ternyata belum cukup untuk bisa menemukan peta hitam yang kami cari.
“Bagaimana kamu bisa sangat yakin jika sajak itu adalah penunjuk untuk menemukan peta hitam?”
“Aku sangat yakin, Bara. Coba kalian perhatikan kalimat kedua dari sajak itu. Sebuah pusaka penunjuk kegelapan bersemayam di lorong kegelapan. Pusaka penunjuk kegelapan yang dimaksud pastilah peta hitam itu.”
“Raka benar, Bara. Aku juga berpikir demikian. Kata ‘penunjuk’ dalam kalimat itu pasti merujuk pada sebuah peta. Peta yang selama ini kita cari.”
“Aku hanya bisa memahami satu kalimat saja, kalimat yang lain tidak aku mengerti. Bisakah kamu menerjemahkan sisanya, Ann?”
Aku mengangguk. Yeah, ini sama persis ketika kami juga harus memecahkan sebuah teka-teki untuk bisa masuk ke negeri ini. Lima belas menit berlalu, aku terus membaca ulang semua kalimat bertinta merah yang sudah aku salin di kertas lain. Itu bukan teka-teki yang mudah. Butuh lebih waktu bagiku untuk memecahkannya.
Sekilas aku melirik Raka yang sedang asyik membolak-balik halaman buku bersampul kuning. Sedari tadi, dia tidak melepaskan pandangannya dari buku itu. Jika dipikir-pikir, sebenarnya Raka bukanlah laki-laki sok tahu seperti yang aku bilang selama ini.
Raka memang sungguhan pintar karena dia membaca buku lebih banyak dari siapapun di sekolah. Raka mungkin tidak keberatan menghabiskan dua puluh empat jam waktunya untuk membaca. Aku tahu, dia sangat senang berduaan dengan buku.
“Apa?” Raka menoleh, manik matanya menatap lurus ke arahku.
Aku buru-buru menggeleng sebelum Si Keras Kepala itu salah paham. “Tidak apa-apa.”
“Aku tahu daritadi kamu mencuri pandang ke arahku. Akui saja, Ann, aku memang tampan, tidak perlu malu-malu,” ucap Raka sambil meletakkan buku kuning, lantas mengambil buku berjudul ‘Negeri Hope’, buku tempat kami menemukan sajak bertinta merah tadi.
Aduh. Sudah ku bilang, bukan? Si keras kepala itu pasti salah paham. Aku memang memperhatikannya, tapi, hei, itu bukan karena dia tampan. Dasar geer!
Aku segera mengalihkan pandangan, kembali berkutat dengan buku di hadapanku, tidak peduli lagi dengan tatapan Raka yang mengintimidasi. Biarlah, dia memang selalu begitu. Satu lagi, kalian jangan bertanya Bara dimana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Seekers of The Lost Hope | END
FantasySeorang murid perempuan tiba-tiba saja dikabarkan menghilang. Tidak ada satu pun orang yang tahu dia berada di mana, hingga satu minggu setelahnya satu murid lagi menghilang. Anna yang kehilangan dua temannya memutuskan melakukan pencarian secara d...