Episode 09.

176 42 5
                                    

Pukul delapan pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul delapan pagi.

Matahari sudah naik sepenggalah, cuaca sedang cerah dengan semilir angin yang berembus masuk melalui ventilasi udara. Pelajaran kedua hari ini adalah pelajaran kimia. Bu Rini memasuki ruang kelas dengan membawa tumpukan hasil ulangan minggu lalu. 

Satu persatu murid dipanggil hingga tiba giliranku.

“Tidak terlalu buruk, Ann, untuk kamu yang kemarin mengerjakan ulangan sambil sesak napas.” Bu Rini tersenyum menggodaku.

Aku nyengir lebar di tengah gelak tawa semua teman kelas. Hasil ulanganku tidak terlalu buruk. Terpaut lima angka dari kriteria nilai minimal, paling tidak aku bisa lolos dari remedial. 

Yes! Raka berseru sambil mengepalkan tangan. Aku tersenyum kecut meliriknya, aku akui Raka memang pandai, sekarang dia pasti mendapatkan nilai sempurna. Tapi, sebaliknya, seruan kesal terdengar dari bangku paling belakang. Bara, dia melipat kedua tangannya di dada sambil memandangi kertas ulangannya. Dari ekspresi wajahnya, aku bisa menebak nilai Bara tidak terlalu bagus atau bisa jadi dia harus ikut remedial karena nilainya di bawah kriteria minimal.

Semua murid sudah mendapat hasil ulangannya masing-masing. Bu Rini memegang spidol hitam, bersiap menulis materi di papan, melanjutkan pelajaran. Sepertinya, pagi ini Bu Rini akan membahas tentang reaksi oksidasi dan reduksi.

“Anak-anak, menurut kalian apakah semua senyawa dan reaksi kimia itu berbahaya?”

Dengung lebah segera berhenti, semua murid menatap lurus ke depan. 

“Iya, Bu, reaksi kimia bisa menghasilkan racun.” Riko menjawab santai dari bangkunya.

Bu Rini tersenyum. “Apa ada pendapat lain?”

“Ada, Bu. Menurut saya, tidak semua reaksi kimia itu berbahaya. Fotosintesis pada tumbuhan juga termasuk reaksi kimia dan itu tidak sepenuhnya berbahaya, menguntungkan malah.” Raka menjawab tegas. Seisi kelas, termasuk Bu Rini sontak menoleh ke arahnya dengan tatapan kagum. Seperti biasa, dia berlaga menyombongkan diri. 

Kalian tahu, pagi ini adalah pagi paling tenang seminggu terakhir. Raka tidak lagi mengusikku. Entah habis terkena apa, dia mendadak tidak lagi mempermasalahkan soal tempat duduk. Sebenarnya, tadi pagi aku baru datang sekitar lima menit sebelum bel masuk, tapi anehnya bangku yang—sebelum Raka datang—biasa aku duduki kosong, tidak ada seseorang yang mengisinya.

Raka, dia sudah lebih dulu datang, tapi memilih duduk di bangku lain, sibuk membolak-balik halaman buku. Itu kabar baik buatku, semoga besok-besok dia tidak lagi mengajakku ribut karena tempat duduk.

“Pendapat bagus, Raka.” Bu Rini tersenyum, mengetuk-ngetuk papan tulis dengan spidolnya. “Perhatikan, anak-anak! Reaksi kimia tidak bisa dipisahkan dari fenomena alam, seperti kata Raka, fotosintesis termasuk proses reaksi kimia yang tidak berbahaya. Fotosintesis membutuhkan keberadaan karbondioksida yang kemudian diubah menjadi molekul glukosa untuk pertumbuhan tanaman. ”

The Seekers of The Lost Hope | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang