"Jangan batu deh. Lo belum sepenuhnya pulih," ucap seorang lelaki bertubuh jangkung berseragam SMA lengkap dari ambang pintu. Namanya Dipta. Pradipta Arkan Adyatama.
Perkataan Dipta tak digubris oleh lawan bicaranya, yang kini tampak kepayahan memasang dasi pada kerah seragam. Lelaki itu menghela napas, kemudian melangkah masuk dan duduk di salah satu sisi ranjang, di sebelah adik kembarnya.
"Sini, biar gue bantu." Dipta memutar tubuh menghadap lelaki itu, membantunya mengikat simpul dasi.
Dipta lalu merabakan tangan kanan pada meja kecil di samping tempat tidur, mengambil nametag hitam bertuliskan Prasetya Arfan Adyatama dan memasangkannya pada dada bagian kanan lelaki itu. "Beres."
Netra coklat Setya memandang jauh, ke arah langit cerah dengan barisan burung mengudara dari balik jendela besar yang setengah terbuka di depannya. Napasnya kini memberat, sebagai buntut dari sesak yang kembali hinggap di dadanya.
Setya mengangkat kepal tangan kanan, menghantamkan berulang pada dada sebelah kirinya. Ia benci penyakit ini. Ia bahkan tak bisa leluasa dengan emosinya sendiri karena masalah jantungnya.
Catecholaminergic Polymorphic Ventricular Tachycardia. Penyakit langka yang diidap laki-laki itu, membuat jantungnya tidak dapat berdetak di atas kecepatan normal.
Dengan kondisi seperti ini, Setya tak bisa melakukan aktivitas berat, mengikuti pelajaran olahraga, atau bahkan sekedar berdiri lama saat upacara. Ia juga tak boleh mengalami stres dan emosi berlebih—marah, senang, sedih, takut, dan cemas—juga jatuh cinta. Segala hal yang mempercepat debar jantungnya, berisiko membuatnya mengalami gagal jantung, dan itu dapat membunuhnya kapan saja.
"Dada lo sakit lagi?" tanya Dipta cemas. "Gue ambilin obat, ya." Ia hendak beranjak dari tempat duduk, tapi Setya buru-buru menahan tangannya. Mau tak mau, Dipta pun kembali duduk.
Setya menggeleng pelan. "Gue baik-baik aja." Ia meraih beberapa buku yang berserakan di tempat tidur dan memasukkannya ke dalam tas. "Gue ketinggalan pelajaran banyak, ya, Dip? Selama di rumah sakit," katanya pada sang kakak.
"Nggak salah denger gue?" Dipta terkekeh pelan. "Siswa berprestasi kayak lo ngeribetin ketinggalan pelajaran?" Ia meninju pelan bahu Setya. "Setya. Setya. Lo nggak usah belajar pun, nilai ujian lo bakal tetep jadi yang tertinggi seangkatan. Otak lo, 'kan, encernya nggak ketulungan."
Setya mencebikkan bibir. "Lebay lo," cibirnya.
"Itu fakta, ya." Dipta menunjuk barisan medali yang terpajang di salah satu dinding kamar tersebut. Itu adalah medali-medali dari olimpiade yang Setya menangkan. "Noh, buktinya terpampang nyata. Cetar membahana. Melintasi cakrawala."
Setya tersenyum mendengar perkataan nyeleneh Dipta. "Udah pantes sih jadi anaknya Princess."
"Alhamdulillah, ya. Sesuatu."
Candaan Dipta sukses membuat Setya tertawa geli, hingga ia merasakan sengatan kecil sengatan kecil di dada kirinya. Keningnya mengernyit menahan nyeri tersebut. Namun, ia tetap menahan tangan agar tidak menyentuh bagian yang sakit itu. Ia tak ingin membuat kakaknya khawatir.
"Tuh, kan. Makin ngaco, tuh anak." Setya menenteng ransel abunya di pundak kanan, kemudian berdiri. "Ayo berangkat, ntar telat."
"Bentar." Dipta menginterupsi. Ia bergegas menuju kamarnya yang berada persis di sebelah ruangan ini.
Semenit kemudian, ia kembali dengan mencangklong ransel hitam di pundak, dan tas jinjing berisi sepatu olahraga.
"Nanti latihan lagi?" tanya Setya.
"Dua minggu lagi udah turnamen."
Dipta mengambil alih ransel di pundak Setya. Ia sempat hendak menjatuhkan tas berisi penuh buku itu karena saking beratnya. "Berat banget. Kayak bawa beban seisi dunia aja lo," cibirnya.
"Sama kayak beban hidup," balas Setya.
Lelaki itu membuka resleting depan tas tersebut, lalu memasukkan dua botol plastik seukuran genggam tangan berisi obat yang sedari tadi dibawanya ke dalam sana. "Obatnya diminum habis makan. Jangan lupa."
Setya berdecak sekali. "Gue inget." Ia mengulurkan sebelah tangannya. "Siniin tas gue."
"Jangan. Berat. Kamu nggak akan kuat. Biar aku saja."
"Dasar oncom." Setya meninju perut sang kakak. "Makin gesrek aja isi kepala lo."
Dipta tertawa ringan. "Gapapa. Yang penting cakep," kelakarnya. "Tas lo biar gue aja yang bawa. Lo kan nggak boleh capek-capek."
TBC
Hai hai haiii
Selamat datang dan terima kasih sudah membaca ☺️☺️
Cerita ini aku ikutkan dalam event Twuter 2k21 bersama Kadentyas Publisher
Mohon doa dan dukungannya, yaa
.
Kenalan dulu yukk sama si kembar HEHEHHE
Kayak begini lah kira-kira penampakan mereka
Tau kan ya yang mana Dipta yang mana Setya??😂😂
.
.
Semoga kalian suka cerita ini
Yokk yok jangan lupa pencet bintang sama ramein kolom komentar 🤭
Sampai jumpa di chapter selanjutnya
🤗🤗🤗🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
HUMMING HEART [Completed]
Teen FictionCan you fall in love without feeling that beat? Sudah menjadi rahasia umum kalau jantung akan berdebar lebih kencang saat seseorang jatuh cinta. Seakan, ada letupan kebahagiaan yang membuncah di dada. Sensasi itu menggelikan untuk orang normal. Namu...