46. Welcome home

801 123 144
                                    

"Harus banget ya, dipasangin ginian?"

"Ya, nggak apa-apa. Biar gumush."

"Pait Pait pait." Bisma bergidik melihat Dimas yang kini menunjukkan puppy eyes—berusaha unyu, tapi jatohnya malah mengenaskan—juga bibir yang dimajukan seperti ingin mencium. "Mata gue ternodai," katanya sambil menutup mata dengan sebelah tangan.

"Ya ampun, kudis. Ini rumah lo apain? Kenapa jadi kaya taman kanak-kanak gini?" Rico berderap masuk sembari menenteng dua bungkus kresek berisi makanan, kemudian meletakkannya di meja. Baru juga lima belas menit ditinggal membeli makanan bersama Haris dan Emma penampakan rumah jadi seperti ini.

Sebetulnya siang ini, Dipta dan kawan-kawan berencana membuat acara kecil-kecilan untuk menyambut kepulangan Setya dari rumah sakit. Tim dipecah jadi tiga. Carissa, Zia, dan Dipta—juga mamanya—menjemput Setya dari rumah sakit. Rico, Emma, dan Haris membeli makanan. Sementara, Bisma, Leo, dan Dimas membereskan rumah.  Harusnya urusan selesai setelah rumah bersih, tapi Dimas berimprovisasi dengan menghiasnya menggunakan pita dan balon warna-warni, persis seperti dekorasi ulangtahun anak empat tahunan.

"Yaudahlah sih. Orang yang ngehias gue, kenapa jadi kalian yang sewot." Dimas mencebikkan bibir.

"Serah deh. Sebahagia lo," serah Haris.

"Nah, gitu dong." Dimas menempelkan satu lagi balon ke dinding. "Psst. Kutil," panggilnya. Menyadari sikap Leo tidak seperti biasanya. Temannya itu jadi lebih banyak diam dan melamun sekarang, wajahnya juga tampak gusar. "Diem-diem bae. Kenapa sih?"

Leo menggeleng. "Nggak-- nggak apa-apa kok." Ia beranjak mengambil bungkusan kresek yang tadi Rico taruh di meja. "Sini, biar gue aja yang siapin," katanya lalu menuju dapur.

"Aneh." Dimas berkomentar. Ia mengarahkan pandangan pada ketiga temannya yang lain. "Tuh anak kenapa dah? Diem mulu dari tadi."

"Dari kemaren," ralat Rico. "Gue juga nggak tau kenapa."

"Ditanya juga ngeles mulu jawabnya," timpal Haris yang juga tak kalah bingung.

Bisma baru hendak menimpali, ketika terdengar suara klakson mobil dari arah depan. Setya sudah sampai.

Keenam orang itu kini berkumpul di dekat pintu, menyambut kedatangan Setya.

"Welcome home, bro." Dimas meniup terompet belalai warna pink, menciptakan bunyi yang khas seperti perayaan ulangtahun anak. Tak lupa, ia juga memasangkan topi kerucut motif polkadot pada kepala Setya.

"Asli, kena mental nih anak." Rico yang melihat hanya bisa geleng-geleng kepala. Tak habis pikir dengan kelakuan temannya itu. "Turut prihatin gue."

"Kasian."

"Sirik aja lo pada," sewot Dimas. Ia mengarahkan pandangan pada Setya. "Abaikan aja mereka. Tuh manusia emang suka iri dengki."

Setya tertawa mendengar celotehan itu. Hanya tawa kecil, tapi yang datang setelahnya sungguh merusak suasana. Tidak. Bukan dadanya yang kembali sakit karena lonjakan ritme jantung—itu sudah biasa terjadi. Bunyi beep beep yang berasal dari sesuatu di kantung celananya, itu yang membuatnya tak nyaman. Rasanya, seolah bunyi itu terus mengingatkan bahwa dirinya sekarat.

Laki-laki itu dengan cepat merogoh sakunya, mengeluarkan semacam alat yang terlihat seperti iPod—dalam ukuran lebih besar—lalu memencet salah satu tombol di sana. Alat itu adalah Monitor Holter, alat medis yang merekam ritme jantung secara terus-menerus. Alat itu tersambung dengan beberapa elektroda yang telah ditempel di dadanya. Ia diharuskan memakai itu, untuk mengidentifikasi dan mencari faktor risiko dari kematian mendadak akibat penyakit jantungnya. Agar kejadian seperti tempo hari hari tidak terjadi lagi.

HUMMING HEART [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang