Setya merebahkan kepalanya pada meja ruang tamu, sambil sesekali mengecek layar ponselnya. Ini sudah jam setengah tujuh malam, dan Dipta masih belum pulang juga. Biasanya, paling lambat Dipta akan pulang jam setengah enam sore atau beberapa menit sebelum adzan Maghrib berkumandang, itu pun dengan memberi kabar sebelumnya.
Tapi sekarang, Dipta sama sekali tak mengabarinya.
Kakaknya tak pernah seperti ini sebelumnya.
Setya meletakkan kembali ponselnya, lalu menenggelamkan wajah pada lipatan tangan. Tidur di jam seperti ini tak boleh sebetulnya, pamali. Tapi, ia mengantuk sekali.
Membersihkan seisi rumah menghabiskan banyak tenaga. Iya, 'kan? Apalagi, jika dilakukan seorang diri.
Setya sering melakukan itu diam-diam, saat tidak ada orang di rumah-meski Mama dan kakaknya akan mengomel habis-habisan jika ketahuan. Ia tak tega melihat Mamanya yang harus melakukan pekerjaan rumah setelah seharian penuh bekerja.
.
"Enak banget jam segini udah tidur!"
Suara teriakan dibarengi gebrakan kuat pada sisi meja dekat telinganya membuat Setya refleks menegakkan punggung. Ia mencengkram kuat dada sebelah kiri, merasakan irama jantung yang semakin tak terkendali. Dadanya terasa sakit sekali, dan kini, ia mulai kesulitan bernapas.
"Berdiri!" Sosok pria itu kini menyambar kerah baju Setya dan menyeretnya berdiri, menatap dengan sorot murka. "Enak aja malas-malasan!"
Dari jarak sedekat ini, Setya bisa mencium alkohol menguar dari mulut pria itu. Setya juga melihat botol kaca berisi minuman keras sebelah tangan pria itu. Lagi-lagi, ia pulang dalam keadaan mabuk.
"Jangan minum lagi, Om. Itu nggak baik." Setya berusaha mengingatkan. Namun, pria itu malah mencengkram kuat dagunya, membuatnya semakin tak bisa bernapas.
Netra coklat Setya mulai tergenang basah. Ia menangis, bukan hanya karena jantung yang sakit luar biasa dan napas sesak, tetapi juga perlakuan kasar pamannya. Setya tak mengerti kesalahan apa yang telah ia lakukan, sampai-sampai pria paruh baya itu sangat membencinya.
"Berisik!" kata pria itu setengah tak sadar. "Anak kecil tau apa? Sana, ambilin makan! Cepat!" Ia mendorong tubuh Setya hingga tersungkur di lantai. "Dasar nggak berguna!"
Setya bangkit dengan susah payah. Ia meraih dudukan kursi dengan tangannya yang gemetar, menjadikannya topangan berdiri. Berjalan setengah rukuk menuju dapur untuk mengambil makanan.
Ia menghujam dadanya beberapa kali dengan kepal tangan. Sakit sekali, Tuhan. Pekiknya dalam hati. Biasanya jika sudah seperti ini, akan butuh belasan menit menahan hingga sakitnya reda.
Tapi, ia tak punya waktu sebanyak itu. Ia harus cepat membawakan makanan sebelum pamannya bertambah murka.
.
"Om Reno, jangan, Om." Setya dengan cepat menaruh piring berisi makanan di meja dan menghampiri pria itu. Tangannya berusaha meraih botol obat yang kini dimainkan Reno, tetapi gagal. "Itu obat Setya, Om. Balikin," mohonnya.
Laki-laki itu mengerang pelan. Nyeri di dadanya semakin tak tertahan. "Sakit," lirihnya.
"Sakit, ya?" Reno menumpahkan isi botol obat itu ke tangannya—kira-kira enam belas kaplet—dan memasukkan paksa obat-obatan itu ke mulut Setya. "Minum nih obat, biar cepat mati sekalian!"
Setya menutup rapat mulutnya, sambil menggeleng kuat. Berusaha menolak, membuat sebagian pil-pil itu kini berserakan di lantai. Sementara, sebagian lain-kurang lebih lima kaplet-masuk ke mulutnya.
"Minum!" Pria itu menyambar botol minuman keras yang tinggal setengah di meja, dan menempelkan ujung botol ke mulut Setya, memaksanya menenggak habis minuman itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUMMING HEART [Completed]
Fiksi RemajaCan you fall in love without feeling that beat? Sudah menjadi rahasia umum kalau jantung akan berdebar lebih kencang saat seseorang jatuh cinta. Seakan, ada letupan kebahagiaan yang membuncah di dada. Sensasi itu menggelikan untuk orang normal. Namu...