"Baik, terima kasih, Pak."
Gadis itu mengulum senyum tipis, mengangguk pelan mendengar penjelasan lawan bicaranya di seberang telepon. Selang dua menit, segera setelah panggilan diakhiri, ia menonaktifkan layar ponsel dan mencopot earbuds putih yang semula terpasang di kedua telinganya.
"Gimana kata pengacaranya?" tanya Emma sembari menyodorkan segelas cappucino cincau.
"Makasih." Carissa meraih capuccino cincau tersebut dan meminumnya. "Kasusnya lagi diproses, nunggu putusan gitu lah sebelum dibawa ke persidangan. Tapi, orang itu udah ditangkap. Ditahan atas gugatan penganiayaan."
"Bagus deh kalo gitu," balas Emma.
Seulas senyum terkembang di wajah Carissa. "Banget," ucapnya senang. Juga lega, karena setelah ini, Om kejam yang tak berperikemanusiaan itu akan mendekam di penjara dalam waktu lama dan tidak lagi menyiksa Setya. Hanya saja, yang saat ini ia cemaskan adalah bagaimana cara menjelaskan ini pada laki-laki itu? Sementara, jelas-jelas Setya memintanya berjanji untuk merahasiakan hal tersebut.
Setya banyak meminta janji dari orang lain. Dan yang diminta—intinya—hanya satu, menjaga rahasia tentang sakit dan lukanya.
Gadis itu menghela napas berat. Tak habis pikir. Bagaimana bisa ada orang yang setabah itu menyimpan sakitnya? Beberapa kali Carissa melihat Setya kesakitan—setiap kali penyakitnya kambuh. Ia juga tahu sakitnya pasti tak tertahan. Namun meski begitu, laki-laki itu tak pernah sekali pun menunjukkannya, apalagi mengeluh pada orang lain.
"Sa, masih sadar, kan?" Emma menjentikkan jari bberapa kali di depan wajah Carissa, membuyarkan lamunan gadis itu. "Kok malah ngelamun. Ada apa?"
"Nggak apa-apa," jawab Carissa. Ia menoleh acak dan netra birunya dengan cepat terkunci pada dua siswa yang berdiri menyandarkan bahu pada dinding. Terdengar helaan napas berat darinya.
Sejak melihat rekaman CCTV di resort tempo hari, bohong jika Carissa tidak memikirkan mereka. Bagaimana tidak? Di rekaman terlihat kedua orang itu masuk ke dalam toilet, tempat yang sama yang barusan didatangi Setya malam itu. Hanya ada mereka bertiga—ia cukup yakin karena sebelum Setya masuk atau sesudah Benny dan Jordan datang, tak ada lagi yang ke sana. Dan setelah mereka berdua keluar, Setya tak kunjung terlihat. Baru keluar setelah kurang lebih setengah jam kemudian, itu pun dengan langkah sempoyongan seakan mau ambruk.
Carissa tak bisa berhenti memikirkan apa yang terjadi di dalam. Ia tak bisa berhenti mencurigai kedua berandal itu.
"Lagi lihatin apa sih?" tanya Emma dengan kening berkerut. Ia menoleh, mengikuti arah pandang temannya. "Ngapain ngelihatin tuh dua curut?"
"Gue curiga sama mereka," jawab Carissa, dengan tatapan yang belum beranjak dari dua orang itu.
Panjang urusannya kalau sudah begini. Pasalnya, Emma tahu persis kalau Carissa sudah ingin tahu atau curiga terhadap sesuatu, pasti akan dikejar sampai dapat, digali sampai ke akar-akarnya. Carissa takkan berhenti sampai semuanya terjawab, dan tak jarang itu justru membahayakan diri sendiri.
"Jangan di sini," tandas Emma. "Lagi banyak orang. Nanti mereka tau kalo lo lihatin."
Carissa megaduk capuccino cincaunya dengan sedotan, lalu menyedotnya. "Iya, gue ngerti kok." Ia menoleh lagi pada Benny dan Jordan, yang kini tampak menggoda beberapa siswi yang lewat. Dasar buaya!
"Chaca," gumam gadis itu, melihat salah seorang siswi lewat yang tak luput dari aksi jahil mereka. Chaca juga terlihat tidak nyaman dengan perlakuan itu. "Wah nggak bisa didiemin ini." Tanpa pikir panjang, ia langsung menghampiri mereka dan mengajak Chaca menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUMMING HEART [Completed]
Fiksi RemajaCan you fall in love without feeling that beat? Sudah menjadi rahasia umum kalau jantung akan berdebar lebih kencang saat seseorang jatuh cinta. Seakan, ada letupan kebahagiaan yang membuncah di dada. Sensasi itu menggelikan untuk orang normal. Namu...