56. Si Pembunuh Bayaran

742 79 20
                                    

"Asyik! Baik banget sih temen gue."

Seperti anak kecil, Dipta menggenggam gagang sendok dan mengetukkan bagian ujungnya pada permukaan meja makan rumah sakit berulang kali. Matanya bergerak seiras dengan mangkuk berisi bubur kacang hijau dan ketan hitam—makanan favoritnya—yang baru saja mendarat di hadapan. Tanpa basa-basi, karena memang perutnya sudah keroncongan, Dipta langsung menyantap bubur tersebut.

Laki-laki itu memelankan kunyahan, agar terlihat menikmati makanan tersebut. Padahal sebetulnya, ia sama sekali tak dapat mengecap rasa apa pun selain pahit. Dipta mengulum senyum ke arah keempat temannya. "Burcang yang di perempatan komplek ya ini? Tau banget kesukaan gue," katanya. "Makasih, ya."

"Iya, sama-sama," balas Haris.

"Habisin buburnya." Dimas menepuk pelan pundak kanan temannya, sambil mengulum senyum.

"Kalian udah pada sarapan?" Seketika, Dipta berjengit, kepalanya terasa sakit lagi, seperti mau pecah. Tapi tak apa, masih bisa ditahan, setidaknya sampai teman-temannya pulang—ia tak ingin membuat mereka khawatir.

Tidak, sakitnya semakin tak tertahan sekarang. Tak bisa lagi pura-pura baik-baik saja. Dipta memegangi kepala dengan sebelah tangan, sedang tangan lainnya mencengkram kuat selimut yang menutupi kaki, hingga kain itu kusut.

"G-gue panggilin dokter, ya?"

Dipta dengan cepat mencekal lengan Bisma, sebelum temannya beranjak keluar. "Gue nggak apa-apa. Cuma pusing biasa," katanya. "Balik sini."

Bisma memandang Haris, Rico, dan Dimas secara bergantian, bimbang antara keluar dan memanggil dokter atau tetap bersama mereka di dalam.

"Gue baik-baik aja, Bis," ucapnya lebih tenang. Sakit di kepalanya mulai bisa ditahan. "Udah deh, nggak usah lebay."

"Gue khawatir, Dip, sama lo," cemas Bisma. "Ini bukan sekali dua kali lo sakit kepala gini, tapi sering."

"Pingsan juga beberapa kali." Rico menyahut.

"Sebenernya, lo sakit apa?" tanya Dimas pada akhirnya.

Satu embusan napas Dipta lepas dengan berat. Ia menatap keempat temannya, seolah memohon agar tak membahas ini lagi.

"Jujur ke kita, Dip," ujar Haris. "Jangan ada yang ditutupi lagi dari kita."

"Lo masih anggap kita temen, kan? Temen nggak main rahasia-rahasiaan." Rico menimpali.

"Kanker otak," ungkap Dipta, yang lantas membuat keempat temannya itu terperangah. Tak menyangka. "Stadium tiga."

"Lo sakit separah itu, dan sama sekali nggak ngasih tau kita?" tanya Bisma. "Sejak kapan lo tau ini?"

"Sehari sebelum hari ulangtahun gue." Dipta  terkekeh pelan. "Kado ulangtahun dari Tuhan, mungkin. Biar adik kembar gue nggak sakit sendirian."

"Dip, bercanda lo nggak lucu sumpah. Jangan bilang gitu."

"Gue--"

Dipta urung merampungkan kalimat, karena Dimas tiba-tiba saja memeluknya erat. "Gue udah kehilangan satu sahabat. Dan, lo juga tau sendiri sedihnya kaya apa," ucapnya di telinga Dipta. "Gue nggak mau kehilangan satu sahabat lagi. Lo harus sembuh." Ia lalu melepas pelukannya.

"Kita duluan, ya?" pamit Rico. "Biar lo bisa istirahat. Cepet sembuh, ya!" Ia menepuk pelan pundak temannya itu, sebelum mengajak yang lain keluar.

"Guys," panggil Dipta, membuat keempat lelaki itu menoleh. "Tolong jaga Setya buat gue, ya," pintanya.

"Pasti."

Dipta tersenyum pada mereka, memandang hingga keempat temannya itu keluar dari ruang rawatnya.

HUMMING HEART [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang