"Setya." Dipta dengan cepat mengukuhkan langkah, tenggelam dalam kerumunan orang-orang yang berlalu lalang sambil membawa koper dan tas besar di bandara. Entah kenapa, perasaannya mendadak tak enak.
"Handuk butut, ayo."
Sebuah tangan dengan serta merta mencekal tangan lelaki itu dan menyeretnya keluar dari kerumunan. "Zia udah nungguin di sana." Carissa mengajaknya ke kursi panjang dekat pintu kedatangan, menemui orang yang tadi ia sebut namanya.
"Kamu kenapa?" tanya Zia dengan kening berkerut, melihat ekspresi cemas laki-laki itu—yang kini semakin tak terelakkan.
"Setya," gumam Dipta. "Perasaan gue bener-bener nggak enak. Gue harus pulang sekarang," paniknya.
"Oke. Oke. Gue antar lo pulang," balas Carissa.
"Tapi, Zia--"
"Aku ikut kalian," putus Zia. "Kita temuin Setya dulu, biar kamu juga bisa tenang. Habis itu, baru aku ke rumah."
Dipta mengangguk dan bergegas menuju mobil. Ia melajukan mobil kencang, memecah derasnya hujan.
.
Sepuluh menit beralu, mereka pun sampai di rumah Dipta.
Laki-laki itu bergegas turun, segera setelah mematikan mesin mobil. Berlari masuk ke rumah. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati rumah dalam keadaan terbuka dan mamanya menangis parah di dalam.
"Mama!" Dipta mendekat lalu bersimpuh di depan wanita itu. "Mama kenapa nangis? Setya--" Ia mengedarkan pandang ke sekeliling, mencari keberadaan sang adik. "Setya di mana?"
Wanita itu menggeleng sambil terus terisak, membuat perasaan Dipta semakin tak karuan.
"Setya kenapa, Ma?" Dipta menuntut jawaban.
"Adik kamu udah tau semuanya."
Kedua mata Dipta membola kaget mendengar itu. "Trus, sekarang Setya di mana, Ma?" Ia semakin tak bisa menyembunyikan kecemasan dalam dirinya.
Wanita itu menggeleng. "Dia pergi dalam keadaan marah. Mama nggak tau dia ke mana."
Dipta langsung bangkit, segera setelah mamanya merampungkan kalimat. Ia lantas berlari keluar, menerobos derasnya hujan masuk ke dalam mobil, menemui Zia dan Carissa yang tadi ia minta menunggu sebentar di dalam.
"Setya baik-baik aja, kan?" tanya Carissa memastikan.
Namun, pertanyaannya tak kunjung mendapat jawaban. Laki-laki itu kini tampak kelimpungan memasang seatbelt karena tangannya yang gemetar. "Sial!"
"Dipta, kamu kenapa?" bingung Zia.
"Setya ilang!" teriak laki-laki itu parau. "Gue harus cari--" Perkataannya terhenti, digantikan dengan erangan pelan. Keningnya mengernyit menahan sakit. Lagi-lagi, sakit tak terhatan ini menyerang kepalanya.
"Turun," ucap Carissa bernada perintah. "Biar gue yang nyetir." Ia menoleh sejenak pada Zia yang duduk di kursi belakang.
Zia mengangguk sekali, menangkap isyarat ynag diberikan Carissa padanya. Gadis itu bergegas turun, membuka pintu di sisi kursi kemudi. "Ayo. Pelan-pelan." Gadis bersurai hitam itu menggapai bahu Dipta, menuntunnya dengan hati-hati menuju kursi belakang mobil.
Carissa dengan cepat mengambil alih kemudi, lalu menyalakan mesin mobilnya. Sesaat sebelum mereka keluar dari halaman depan rumah tersebut, ponsel Carissa bergetar berulang. Ada pesan masuk.
Deon_Dewangga
[Ke RS Medistra sekarang]
[Setya di sini]
[Gue nemuin dia pingsan di pemakaman]***
KAMU SEDANG MEMBACA
HUMMING HEART [Completed]
Ficção AdolescenteCan you fall in love without feeling that beat? Sudah menjadi rahasia umum kalau jantung akan berdebar lebih kencang saat seseorang jatuh cinta. Seakan, ada letupan kebahagiaan yang membuncah di dada. Sensasi itu menggelikan untuk orang normal. Namu...