9. Satu Permintaan

1.8K 312 209
                                    

Setya terdiam beberapa saat di depan ambang pintu. Harusnya selangkah lagi ia keluar dari kamar jika saja Dipta tidak berdiri dengan Menyandarkan sebelah bahu pada kusen pintu, memblok jalannya.

"Ngapain sih berdiri di situ, Dip?" tanya laki-laki itu sambil membenarkan posisi ransel di kedua sisi pundaknya. Ia melirik sekilas jam dinding yang kini sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lebih sepuluh menit. "Buruan. Nanti telat."

"Mau ke mana?"

Bola mata Setya merotasi. "Ya sekolah lah. Lo nggak lihat gue udah pake seragam rapi gini?" Ia membuka sedikit sisi kanan jaket, memperlihatkan kemeja seragam dari baliknya.

Dipta menghela napas berat. "Lo nggak usah masuk ya, hari ini," katanya pada sang adik.

"Ya nggak bisa lah, Dip. Gue udah semingguan lebih nggak masuk sekolah. Masa iya nggak masuk lagi?" Setya hendak meneruskan langkah, tapi dengan cepat Dipta menghadang langkahnya. "Dip, jangan gini dong."

"Lo yang jangan gini. Kenapa sih, batu banget dibilangin," ucap Dipta setengah mengomel. "Lo, 'kan kemaren habis--"

"Gue baik-baik aja," yakin Setya pada sang Kakak. Ia mengarahkan telunjuk tangan kanannya mengitari wajah. "Nih, lihat. Muka gue udah nggak pucat lagi, 'kan? Gue udah sehat."

Setya terdiam beberapa saat setelah mengucap kalimat terakhirnya. Lidahnya terasa kelu saat mengucap kata 'sehat'. Seakan, itu terlalu asing baginya.

Tapi, ucapan adalah doa. Iya, 'kan? Setya tak boleh lupa, ia punya Tuhan Yang Maha Kuat, yang jauh lebih kuat dari penyakit yang dideritanya. Ia tak boleh patah arang.

Lagipula, tidak ada yang meragukan kekuatan sugesti. Dalam situasi terburuk sekali pun, saat seseorang mampu memberi sugesti positif pada dirinya sendiri, kalau semuanya baik-baik saja. Maka, niscaya semuanya akan baik-baik saja.

"Gue khawatir sama lo," cemas Dipta. "Gue nggak akan bisa maafin diri gue sendiri kalo sampe lo kenapa-napa." Ia masih terbayang-bayang kejadian semalam.

Jujur saja, Dipta sama sekali tak habis pikir dengan pamannya. Bagaimana bisa pria itu sebegitu bencinya pada mereka, keponakannya sendiri? Kesalahan apa yang sudah mereka perbuat? Tak masalah jika ini hanya menyangkut dirinya, ia akan dengan senang hati menerima pukulan, tendangan, atau pun diperlakukan seperti budak-seperti yang dialaminya sedari kecil. Tapi kalau pria itu sudah berbuat kasar pada Setya, Dipta tak bisa menerimanya.

"Gue tau lo masih mikirin soal Om Reno. Iya, 'kan?" tanya Setya, seakan bisa menebak jalan pikiran lelaki itu.

Dipta terdiam sejenak, kemudian mengangguk pelan. "Ini udah keterlaluan, Set. Lo nggak pengen cerita ini ke Mama?"

Setya berdecak sekali. "Nggak usah cari penyakit," katanya sambil berderap menghampiri Dipta. "Mending cari makan. Laper gue."

Tak lama berselang, terdengar suara bising dari arah dapur, yang tak lain berasal dari Mama mereka.

"Dipta! Setya! Cepat turun. Sarapan," teriak wanita setengah baya itu. "Udah jam segini. Nanti telat."

"Nah, pas banget ada makanan. Ayo turun."

"Gue belom kasih lo ijin berangkat ke sekolah btw," tegas Dipta ketika Setya berjalan melewatinya. Ia mencekal lengan kiri tangan adik kembarnya itu.

Laki-laki itu menoleh, mengontak mata sang kakak. Tangan kanannya terulur, menurunkan tangan Dipta yang mencekal lengannya dan menggandengnya. "Gue janji nggak akan kolaps lagi, nggak akan lemah lagi. Gue janji nggak akan bikin lo khawatir," janjinya. "Lo percaya sama gue 'kan, Kak?"

Dipta tersenyum kecut. "Paling nggak bisa nih gue, kalo lo udah manggil 'Kak'. Sengaja, ya?"

Salah satu sudut bibir Setya tertarik. "Emang," ucapnya sembari menggandeng tangan sang kakak. "Buruan turun, Kak. Nanti keburu ibu negara ngomel-ngomel."

HUMMING HEART [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang