Segaris senyum tipis tergurat di wajah Setya ketika memasuki kamar sang Kakak. Kamar berukuran tiga kali empat meter dengan cat abu itu tampak seperti habis kerampokan, berkat tas, buku, pakaian, dan barang lainnya yang berserakan di mana-mana.
Berbeda dari kamarnya yang dipenuhi buku dan terkesan seperti perpustakaan dadakan, kamar Dipta terasa lebih hidup dan ceria. Kamar Dipta sama seperti kamar remaja laki-laki pada umumnya, dengan barisan komik berjajar dalam rak, poster-poster film kegemaran—yang bahkan ia sendiri tak tahu namanya, pernak-pernik seputar basket, PlayStation, dan barang-barang berbau anak muda lain.
"Emang nggak pernah berubah, ya," gumam laki-laki itu. Ia lalu merunduk, memunguti beberapa helai baju di karpet bawah kakinya, memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor yang terletak di salah satu sudut ruangan, di dekat rak.
Gerakan tangan Setya terhenti sejenak ketika sepasang mata coklat laki-laki memandangi sebuah frame foto dengan hiasan kulit kerang di pinggirannya. Dalam foto tersebut, tampak sebuah keluarga, dengan ibu, ayah, dan dua anak laki-laki, tengah duduk bersama mengitari istana pasir.
Ini adalah foto liburan keluarganya sebelas tahun silam, tepat dua hari sebelum ulangtahunnya dan Dipta yang kelima. Foto terakhir yang mereka punya sebelum sang ayah meninggal.
Setya mengambil foto tersebut lalu duduk bersandar pada kaki ranjang. Helaan napas berat terdengar darinya, dibarengi usapan lembut pada wajah ayahnya.
Ujung mata lelaki itu tampak tergenang basah. Keningnya mengernyit dalam. Kerinduan yang mendalam pada sang ayah, menyisakan sesak yang teramat di dada. Sakit sekali, seperti ada jarum yang ditusuk-tusuk ke dinding jantungnya.
Setya mencengkram kuat dada sebelah kirinya, hingga membuat kaus yang ia kenakan kusut. Ia menangis dalam diam.
Apa aku sebegitu berdosanya, sampai harus disiksa seperti ini, Tuhan? Sakit sekali. Ini bahkan lebih buruk dari sekarat, ratapnya dalam benak.
"Gue cari-cari di kamar, taunya lo di--" Air muka Dipta langsung berubah begitu melihat pipi Setya yang sudah basah karena air mata. Laki-laki itu langsung melempar asal handuk yang semula ia sampirkan di belakang leher dan berderap menghampiri sang adik. "Hei. Udah, ya. Jangan nangis," katanya lembut.
"Gue pengen nyusul Papa, Kak."
Pundak Dipta mengendur. Lagi-lagi, Setya kehilangan semangat hidup.
Dipta menggeser tubuhnya lebih dekat pada Setya dan merangkul pundak adiknya itu. "Jangan dulu, ya." Matanya memerah dengan linang tertahan. "Jangan nyerah dulu."
"Sakit, Kak." Setya melirih. Ia sudah menangis sesenggukan.
"Lo bisa--" Dipta menyusut hidungnya, kemudian meraih pulpen dari atas meja dan meletakkan benda tersebut pada tangan Setya. "Tusuk gue pake ini. Di bagian mana aja yang lo mau. Yang kenceng," katanya. "Lo bisa ngasih sakit itu ke gue. Biar lo nggak ngerasa sakit sendirian."
Setya tertawa kecil mendengar perkataan kakaknya. "Ini bukan burcang yang tiap pagi lo beli di perempatan, Dip. Ini nggak bisa dibagi." Ia mengembalikan pulpen tersebut.
"Ya, kali aja bisa."
Dipta mengambil frame foto yang tergeletak di lantai, menatapnya lamat. "Lo kangen sama Papa?"
Setya mengangguk pelan. "Kita dulu bahagia banget, ya, Dip. Waktu Papa masih ada." Ia mengusap ujung matanya. "Lo inget nggak hari dimana Papa meninggal?"
Laki-laki mengangguk. Mana mungkin ia melupakan hari terburuk dalam hidupnya itu? Hari terakhir ia bisa menikmati hidup layaknya anak-anak seusianya. Karena setelahnya, ia sudah harus menjadi dewasa, bahkan sebelum mengetahui apa arti kata itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUMMING HEART [Completed]
Novela JuvenilCan you fall in love without feeling that beat? Sudah menjadi rahasia umum kalau jantung akan berdebar lebih kencang saat seseorang jatuh cinta. Seakan, ada letupan kebahagiaan yang membuncah di dada. Sensasi itu menggelikan untuk orang normal. Namu...