14. Marah?

1.6K 264 178
                                    

"Pagi, Ma."

Setya mengecup pelan puncak kepala Vidya yang tengah sibuk menyiapkan sarapan, kemudian berderap menuju meja makan. Menarik salah satu kursi dan mendudukinya.

"Masih lama ya, Ma? Setya bantu, ya?" Lelaki itu menawarkan diri.

Wanita itu menggeleng pelan. "Nggak usah. Ini juga udah selesai kok," ucapnya sembari memberikan semangkuk bubur ketan hitam pada Setya. "Habiskan, ya."

"Apa sih yang enggak buat ibu negara?" Sebuah senyum terulum  pada wajah Setya. Ia meraih mangkuk tersebut dan mulai memakan bubur ketan hitamnya. "Masakannya ibu negara emang nggak pernah mengecewakan," celetuknya. "Heran. Kok ada ya, tangan seajaib itu?"

Vidya terkekeh pelan mendengar celetukan putranya. "Emang paling bisa, ya." Ia meletakkan satu lagi mangkuk bubur ke tempat kosong di sebelah Setya, lalu mengambil tempat duduk di hadapan lelaki itu. "Obat kamu mana?" Ia baru menyadari tak ada botol obat milik Setya di meja. "Tumben nggak dibawa."

Setya langsung memelankan kunyahan begitu mendapat pertanyaan itu. "Di kamar, Ma. Nanti habis makan, langsung Setya minum obatnya," jawabnya berbohong. Ia tak ingin mamanya tahu masalah obatnya yang jatuh dan rusak karena Om Reno tempo hari.

"Diminum yang rutin obatnya. Nggak boleh bolong-bolong. Biar nggak kambuh-kambuh lagi sakitnya," tutur wanita paruh baya itu. "Inget, 'kan kata Dokter Tika?"

Terdengar helaan napas dari lelaki itu. "Inget kok."

"Hei." Vidya menggamit tangan kiri putranya, mengelusnya pelan. "Bertahan ya, Sayang. Kita akan cari jalan keluarnya," ucapnya penuh kasih sayang. Matanya mulai berlinang. "Kamu pasti sembuh."

"Setya beruntung punya wanita hebat seperti Mama." Tangan kanan laki-laki itu terulur, mengusap pipi sang Mama. "Mama jangan nangis lagi, ya. Setya nggak suka."

Wanita paruh baya itu mengangguk pelan, mengecup singkat tangan kanan putranya, lalu mengulum senyum.

"Nah, kalo gini 'kan cantik," celetuk Setya. "Jadi makin cinta sama Mama."

"Kamu ini bisa aja." Vidya merasakan pipinya mulai merona. Putranya ini, selalu saja menemukan celah membuatnya tersenyum. "Cepat habiskan buburnya. Habis ini minum obat terus istirahat lagi di kamar."

"Iya, Ma."

Wanita itu mengarahkan pandangan pada mangkuk makan yang ada di sebelah Setya, mangkuk milik Dipta. "Kakak kamu mana?" tanyanya. "Tumben jam segini belum turun."

"Masih tidur kali, Ma," jawab Setya malas. Ia masih kesal dengan sang Kakak karena masalah semalam.

"Radarnya Dipta nangkep ada yang lagi nyariin nih," celetuk seseorang dari arah belakang. Seorang laki-laki yang tampak mengenakan kaus hitam polos dan celana boxer selutut melangkah menuju sisi kosong meja makan di sebelah Setya. "Iya, tau kok Dipta emang ngangenin." Ia menarik kursi tersebut lalu mendudukinya.

"Kepedean," gumam Setya kesal, sembari menyuapkan sesendok bubur ke mulutnya.

Dipta menghela napas berat dengan tatapan yang masih mengarah pada Setya. Sementara, sang adik terus saja memalingkan wajah, enggan menoleh padanya.

Panjang urusannya kalau begini.

"Mata kamu kenapa? Kok biru-biru gitu?" tanya Vidya khawatir.

"Habis kepeleset," bohong Dipta.

Wanita itu menatap Dipta dengan mata memicing curiga. "Yang bener?"

"Iya, Ma." Lelaki itu terdiam sejenak, berusaha menyusun alasan. "Tadi Dipta kepeleset, 'kan. Trus bagian ini--" Ia menunjuk pelipisnya yang lebam. "Nyium lantai duluan."

HUMMING HEART [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang