Setya mengekor di belakang sang Kakak, masuk ke area pemakaman yang berada di pinggiran kota. Mereka berhenti di dekat salah satu makam dengan batu nisan berwarna hitam, lalu berlutut di samping makam tersebut dan membersihkannya dari dedaunan kering.
Tangan kanan Dipta terulur, menyibak bagian atas batu nisan tersebut dari dedaunan kering yang menutupi, memperlihatkan ukiran nama Wisnu Adyatama yang tertera pada batu tersebut dengan jelas.
"Selamat ulangtahun, Pa," ucap Setya sembari menabur bunga yang barusan ia beli pada makam tersebut, seusai mereka berdoa. "Semoga Papa bahagia di sana. Papa nggak usah khawatir, kita semua baik-baik aja di sini." Ia memejamkan kedua matanya kuat, meloloskan setitik air yang semula tertahan di dasar mata. Jujur, berat rasanya mengatakan itu di saat dirinya sendiri sangat ingin menyusul sang Papa.
Setya sudah sangat lelah dengan permainan sadis kehidupannya.
Setya capek, Pa. Sakit. Maafin Setya, udah bohong ke Papa. Jadi beban buat Mama dan Kakak, hidup mereka pasti lebih baik kalo anak yang bisanya cuma nyusahin ini pergi selamanya. Rasanya pengen nyerah aja. Nggak kuat. Pengen nyusul Papa, batin laki-laki itu. Ia menghela napas berat. Tuhan, lain kali jika ingin memberiku sakit, tumpahkan saja semuanya. Selesaikan saja, tidak perlu sungkan, ratapnya dalam benak.
Setya menyusut hidungnya yang berair, mengusap air matanya, lalu menepuk pelan bahu sang Kakak. "Kasih hadiahnya, Kak," katanya.
Sepasang mata cokelat Dipta sedikit menyipit ketika sudut bibirnya tertarik. Masih dengan tatapan yang belum beranjak dari batu nisan, laki-laki itu meletakkan piala turnamen yang tadi dimenangkan sekolahnya, menunjukkannya pada sang Papa. "Sesuai janji Dipta bulan lalu, kado ulangtahun tahun ini, Dipta bawain piala untuk Papa, pelatih basket pertamanya Dipta." Ia terkenang satu hari di ulangtahunnya yang keempat ketika mereka bermain seharian di Timezone. Dipta sampai tidak mau pulang—padahal tempatnya sudah mau tutup—karena keasyikan bermain basketball arcade, dan baru mau pulang setelah sang Papa membelikannya bola basket sendiri dan mengajari cara memainkannya.
Bola oranye itu masih ia simpan hingga sekarang, dan akan selalu ada bersamanya, selamanya. Bila perlu, diwariskan ke anak cucunya nanti. Sebagai kado terindah, juga ujung tombak permulaan mimpinya menjadi atlet basket profesional.
"Doain ya, Pa. Satu kejuaraan lagi, dan Dipta bisa dapat beasiswa--" Dipta menghentikan kalimatnya, menggeleng pelan. Tidak. Ia tak boleh egois seperti ini. Kalau ia pergi dan mengambil beasiswa itu, lantas siapa yang akan menjaga Setya?
Setya menghela napas berat mendengar itu. Ia menjatuhkan pandangan pada rerumputan yang rapi menutupi makam papanya. Di titik ini, ia merasa tak ubahnya benalu yang selalu menyulitkan hidup sang Kakak.
Dipta membuang jauh-jauh kesempatan beasiswa itu, mimpi besarnya itu, hanya karenanya. Apalagi yang bisa lebih buruk dari itu?
"Udah deh, nggak usah murung gitu. Jalan masih banyak." Dipta meninju pelan bahu Setya. Lelaki itu tersenyum singkat ketika sepasang netranya kembali mengarah pada nisan papanya. "Dipta nggak lupa kok, Pa," katanya pada batu nisan hitam itu. "Masih inget sama apa yang Papa bilang."
.
Langit sudah gelap sore itu, menyisakan semburat jingga yang perlahan lesap terganti dengan gelapnya malam. Jalanan sepi sejauh mata memandang. Di sore itu, Wisnu mengajak putra sulungnya yang berusia sekitar empat setengah tahun, berjalan melintasi gang depan rumahnya menuju apotek terdekat, membeli obat untuk Setya yang sedang demam.
"Pa, nanti beliin Dipta plester sekalian, ya?" pinta bocah laki-laki yang tengah sibuk memainkan magnet itu. "Tapi sembunyi-sembunyi aja, jangan bilang-bilang Mama."
KAMU SEDANG MEMBACA
HUMMING HEART [Completed]
Novela JuvenilCan you fall in love without feeling that beat? Sudah menjadi rahasia umum kalau jantung akan berdebar lebih kencang saat seseorang jatuh cinta. Seakan, ada letupan kebahagiaan yang membuncah di dada. Sensasi itu menggelikan untuk orang normal. Namu...