17. Kantin

1.2K 225 139
                                    

"Sehari aja nggak nyebelin, bisa nggak?"

Carissa tertawa pelan mendengar gerutuan Dipta di belakang. Sementara, Dipta yang malang mau tak mau harus menurut apa pun perintah sang majikan.

Laki-laki itu melangkah pelan sambil menenteng nampan berisi bakso, ketoprak, dan dua gelas es teh, mengekor di belakang Carissa yang kini sibuk memilah ingin duduk di meja kantin sebelah mana.

Persis seperti pelayan pribadi. Ralat, memang begitu kenyataannya.

Sepasang netra Dipta dengan cepat mengarah ke meja di salah satu sudut kantin, markasnya bersama komplotannya tiap jam istirahat. Laki-laki itu berdecak sebal mendengar cekikikan teman-temannya. Sungguh, terkadang kelakuan mereka sama sekali tak menggambarkan insan yang berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia. Bukannya memberi dukungan moral pada Dipta yang harga dirinya dilecehkan, kelima orang it justru menertawakan kemalangannya.

"Dosa apa gue sampe harus berurusan sama--" Dipta tersentak mundur selangkah karena gadis itu tiba-tiba saja mengukuhkan langkah, membuat es teh di nampan yang dibawanya tumpah mengenai punggung tangan kanan. Ia menggeram sebal. "Titisan Dajjal."

Kedua mata Carissa sedikit menyipit ketika sudut bibir gadis itu tertarik ke atas. "Marah-marah mulu. Ntar cepet tua lho," celetuknya.

Gadis itu mengulurkan tangan kanan, memosisikan ibu jari dan jari telunjuk pada kedua sudut bibir Dipta, kemudian menariknya sedikit. "Senyum dong. Biar kelihatan ganteng," sambungnya dengan senyum lebar.

"Turunin nggak tangannya?!" sewot laki-laki itu. "Mau gue gigit lagi?"

Carissa menggeleng. "Nggak mau," putusnya. "Senyum dulu."

Dipta menghela napas berat, tapi akhirnya menurut juga. Ia menarik kedua sudut bibir membentuk lengkung senyum, tanpa memperlihatkan gigi. "Puas?"

"Nah gitu dong." Carissa tersenyum puas. "Kalo gini, kan, cakep."

"Buruan, lo pengen duduk di meja mana?" desak laki-laki itu sembari melirik sekilas nampan makanan yang dibawanya. "Lo kira nggak pegel apa gue bawa ginian?"

"Taruh sini." Carissa mengetuk-ngetukkan ujung kuku telunjuk tangan kanannya pada permukaan meja di samping, dekat taman belakang sekolah.

Tanpa menanggapi, lelaki itu langsung meletakkan nampan berisi makanan ke meja yang tadi Carissa tunjuk dan langsung meninggalkan gadis itu, menghampiri kelima temannya.

.

"Sehat lo, Dip?" tanya Bisma sebagai penyambut kedatangan Dipta, yang langsung saja membuat lawan bicaranya mendengus sebal.

"Kebakaran jenggot." Dipta mendorong bahu Dimas, menggesernya paksa, lalu duduk di sisi kosong bangku panjang di sampingnya.

"Nih." Leo menyodorkan botol hijau berisi minuman soda bening yang isinya sudah berkurang seperempat. "Buat nyegerin gerah."

Dipta langsung menyambar botol tersebut dan menghabiskannya dalam sekali tenggak. Laki-laki mengernyit tak lama setelahnya karena tak terbiasa dengan sensasi krenyes minuman itu.

"Ini soda, ya?" tanya Dipta sembari meletakkan kembali botol hijau itu ke meja.

"Bukan, Dip," jawab Dimas. "Ini tuh air yang dikarbonasikan dan dibuat bersifat efervesen dengan penambahan gas karbon dioksida di bawah tekanan," sambungnya, membuat yang lain melongo keheranan.

"Tumben lo pinter." Rico berkomentar.

Dimas meringis memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Browsing di internet," katanya sambil menunjukkan layar ponsel.

HUMMING HEART [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang