Setya terbangun dengan peluh mengguyur di sekujur tubuh. Dengan kening mengernyit dan mata yang masih mengerjap, perlahan lelaki itu mengubah posisi menjadi duduk, bersandar ke kepala ranjang. Sebelah tangan mencengkram kuat dada kiri. Seperti alarm, sentakan rasa sakit ini membangunkannya setiap malam. Selalu.
Tidak ada yang tahu—tidak juga Dipta dan mamanya—kalau seperti inilah malam yang dihabiskan Setya. Tak pernah tidur pulas tanpa gangguan.
Lelaki itu menggeser tubuhnya, duduk di tepi tempat tidur. Jantungnya terasa sangat sakit sekarang. Ia terdiam sejenak, menata pola napas yang mulai tak beraturan, berusaha menenangkan diri.
Setya beranjak bangkit, berjalan setengah rukuk menuju meja. Ia mengambil satu diantara barisan botol obat, dan meminum dua pil sekaligus. Setya sudah hapal obat apa saja yang harus diminum—termasuk bentuk, dosis, dan seperti apa kemasannya—jadi meskipun kamarnya dalam keadaan gelap, ia tidak salah mengambil obat. Lalu menjatuhkan tubuh ke lantai, duduk bersandar di dinding. Menangis diam-diam.
Tangan kanan Setya mencengkram dada, kuat sekali sampai-sampai ujung jarinya tampak memutih. Sakit sekali, Tuhan! pekiknya dalam benak. Bukannya berkurang dan berangsur hilang, nyeri ini justru bertambah parah. Dadanya terasa semakin sesak. Ia kesulitan bernapas.
"Kak," katanya lemah. Tapi percuma, suaranya takkan sampai ke kamar Dipta.
Setya bangkit perlahan, memaksa tungkainya—yang sebetulnya tak kuat—berjalan, menuju tempat tidur untuk mengambil ponsel. Menelepon Dipta.
Namun, tak ada respon.
"Dipta, please angkat," mohon Setya pada ponsel di tangan—yang kini sudah hampir dua puluh kali menelepon sang Kakak. Sakit di dadanya tak kunjung reda. Ditambah, rasa pening yang menghantam kepalanya.
Tak kuat menahan, Setya memaksa keluar kamar. Ia berjalan dengan tertatih, sambil terus menggenggam ponsel, menuju kamar Dipta di sebelah.
Kosong.
Dipta tidak ada di sana.
Mamanya juga masih belum pulang.
Tidak ada orang di rumah.
"Angkat telfonnya, Kak," lirihnya. "Tolong--"
Setya ambruk. Jatuh tersungkur ke lantai karena tak kuat lagi menopang berat tubuh. Pening di kepalanya semakin tak tertahan, begitu pun jantungnya yang sudah tak terkendali.
"Hal—halo."
Syukurlah, Dipta akhirnya mengangkat teleponnya. Dengan tangan gemetar, ia berusaha mendekatkan ponsel ke mulut.
"Setya, lo--"
"Kak, tolong pulang," ucapnya lemah, sambil sesekali mengerang menahan sakit. "Sakit."
"Setya. Lo bertahan, ya. Gue pulang sekarang." Suara Dipta terdengar panik dari seberang telepon. Samar-samar, Setya juga mendengar suara keramaian di sekeliling sang Kakak.
Kesadaran Setya terus menurun. Tak lagi bisa mendengar apa pun. Kedua matanya perlahan tertutup.
"Setya!"
***
Dipta masih bertahan dalam posisinya, berdiri di hadapan wanita itu dengan menundukkan kepala. Pipi kiri lelaki itu masih terasa berdenyut setelah satu tamparan yang barusan diberikan padanya.
"Maafin Dipta, Ma," katanya untuk kesekian kali. Ia dan mamanya kini tengah berdiri di depan ruang ICU, menunggu Setya ditangani di dalam. Setelah menerima telepon tadi, Dipta bergegas pulang ke rumah, tetapi di sana tidak ada orang. Jadi, ia langsung ke rumah sakit—tempat satu-satunya yang bisa ia pikirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUMMING HEART [Completed]
Teen FictionCan you fall in love without feeling that beat? Sudah menjadi rahasia umum kalau jantung akan berdebar lebih kencang saat seseorang jatuh cinta. Seakan, ada letupan kebahagiaan yang membuncah di dada. Sensasi itu menggelikan untuk orang normal. Namu...