26. Turnamen Basket

1K 175 220
                                    

"Udah bener-bener nggak bisa dideteksi keberadaan akal sehat lo. Asli deh."

Emma sudah kehabisan kata-kata dan bahan omelan, bingung sendiri harus bagaimana menghadapi kepala batu seorang yang bernama Carissa itu. Bagaimana tidak, baru juga kemarin sore gadis itu dirawat—hingga harus bermalam—di rumah sakit karena keracunan makanan, dan ia malah ngotot ingin datang ke turnamen basket.

Ralat, bukan ingin, tapi sudah. Pagi ini, selang lima belas menit sebelum pertandingan berlangsung, Carissa tahu-tahu datang dan bergabung bersama anak-anak PMR di salah satu sudut lapangan.

Kedua bola mata Carissa merotasi. "Gue udah baik-baik aja. Nih lihat," ucapnya seraya menggerakkan telunjuk tangan kiri mengitari wajah. "Udah nggak pucat lagi, kan? Lagian, gue gabut banget di rumah sakit. Bosen." Ia meringis. "Mending di sini, bisa lihat cogan."

"Kesehatan tuh pikirin," cecar Emma. Ia mengambil tempat duduk di samping kanan Carissa, di salah satu bangku panjang tepi lapangan. "Cogan mulu yang diurusin."

"Hei, jangan salah." Gadis bermata biru itu berceloteh. "Tahun kemaren, sekolah gue. Sorry, sekolah gue yang lama tanding basket sama anak SMA Nusantara, tim basket lawan. Asli gue nggak bohong, anak basketnya ganteng-ganteng bening-bening macho-macho. Sayang banget kalo nggak ditonton."

"Mumpung lagi ada kesempatan ya, bund? Mau jelalatan." Emma melirik ke arah Carissa dengan seringai tipis. "Mumpung Setya lagi nggak di sini."

Perkataan itu sukses membuat Carissa kehilangan kata-kata, salah tingkah sendiri. Entah kenapa, hanya dengan mendengar nama lelaki itu saja sudah membuatnya seakan kehilangan kewarasan untuk sesaat. "Y-ya, i-itu, kan, beda cerita," jawab gadis itu sekenanya.

Kedua sudut bibir Emma tertarik melihat ekspresi kikuk temannya itu. "Ada yang beda nih dari cara ngomong lo waktu nama 'Setya' kesebut." Ia mengarahkan pandangan pada Carissa sembari menumpukan tangan kanan dagu, tersenyum menggoda.  "Lagi dimabuk cinta, ya?"

"Ih, apaan sih? Kenapa jadi bahas ke sana?" Carissa mencoba berkelit, tetapi rona merah muda di wajahnya tak bisa dibohongi.

Emma berdehem sekali. "Daripada ngegabut di sini sama korban bucin, mending gue pergi. Nyamperin yang lain." Emma beranjak dari tempat duduk. "Duduk aja. Nggak usah ke mana-mana. Nggak usah aneh-aneh. Jangan nambah-nambahin kerjaan anak PMR," titahnya.

Carissa mengangkat tangan kanannya ke pelipis, membentuk posisi hormat. "Siap, laksanakan," ucapnya lalu tersenyum. Dan, tetap dalam posisi seperti itu hingga sosok Emma menghilangkan dari pandangannya.

.

"Buat lo."

Sepasang alis gadis berambut brunette itu tertaut melihat sekotak minuman air kelapa muda yang disodorkan padangan. Segera, ia mendongak guna mengecek sang pemberi.

"Dipta?" gumam gadis itu pelan. "Dalam rangka apa lo ngasih ginian? Tumben baik," sambungnya dengan suara lebih keras.

Dipta berdecak sekali, kemudian menusukkan sedotan minuman tersebut pada lubang yang berada di bagian atas kotak dan langsung mengarahkan ujung sedotan minuman itu ke mulut Carissa, meminumkannya. "Tinggal ambil aja apa susahnya sih?"

"Ya, nggak usah ngegas bisa, kan?" Gadis itu meraih minuman itu kelapa muda dari tangan Dipta dan meminumnya sendiri.

Dipta menghela napas berat, tatapannya kini berubah serius. "Makasih, ya. Udah nyelametin nyawa adik gue," ungkapnya. "Maaf juga. Gara-gara nolong Setya, lo sampe harus masuk rumah sakit."

Senyum di wajah Carissa terkembang mendengar itu. Ia merasakan hatinya menghangat. Ini adalah pertama kalinya Dipta berucap selembut itu padanya. "Iya, sama-sama."

HUMMING HEART [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang