Para pelayat satu per satu mulai meninggalkan tempat, menyisakan lima orang laki-laki yang masih bertahan di posisi. Terdiam dengan mata memerah penuh linang menatap ukiran Leonard Alden Malvino pada batu nisan di depan mereka.
"Gue masih nggak percaya lo bakal pergi secepat ini." Rico mengulurkan tangan, mengusap nisan tersebut. Ia yang paling terpukul, karena diantara mereka berlima, Rico lah yang paling dekat dengan Leo. Leo adalah sahabatnya sejak masih di taman kanak-kanak. Mereka tumbuh besar bersama. "Maafin gue, udah gagal ngejagain lo. Gue nggak bisa nepati janji ke almarhum Mama lo."
Dipta menjatuhkan pandangan pada gundukan tanah di depannya. "Semua ini salah gue," ucapnya. "Kalo aja malam itu gue nggak lengah, cowok brengsek itu pasti nggak akan nembak--"
"Udah, Dip." Haris menyela pembicaraan. "Jangan salahin diri lo sendiri." Ia menghela napas berat. "Sekarang yang bisa kita lakuin cuma ikhlas, dan berdoa supaya Leo tenang di sana."
Rico menoleh acak dan mendapati ada seseorang yang berdiri memperhatikan mereka dari balik pohon kamboja. Matanya menyipit guna memperjelas penglihatan. "Meira," gumamnya pelan. Ia baru menyadari kalau sejak proses pemakaman dimulai, gadis itu tidak ada di sini. Tapi, kenapa bukannya datang, Meira justru hanya mengamati dari jauh?
"Gue sama Dimas duluan, ya," kata Bisma, yang seketika mengalihkan atensi Rico.
"Hati-hati di jalan."
Kedua laki-laki itu mengangguk, lalu melenggang pergi.
"Ric, lo nggak apa-apa?" tanya Haris, menyadari temannya itu sedari tadi menatap kosong ke depan.
"Deon." Mendadak, Rico teringat kalimat terakhir yang diucapkan Leo sebelum menghembuskan napas terakhir. Leo sempat menyinggung nama Deon, memperingatkan mereka agar berhati-hati dengan Deon—begitu yang bisa ia tangkap dari suara lirih Leo malam itu.
Leo tak mungkin mengatakan itu tanpa alasan. Entah terlibat atau justru menjadi dalangnya, ini pasti ada hubungannya dengan Deon. Pembunuh bayaran, penyekapan, dan kematian Leo—sahabatnya. Amarahnya seketika menyeruak, mengambil alih. Rico menggenggam kuat segempal tanah merah dari pusara temannya. "Gue harus kasih pelajaran ke dia!"
"Kontrol emosi lo, Ric!" Haris dengan cepat mencengkram pundak Rico. "Jangan gegabah," tuturnya. Meski sebenarnya, ia juga memikirkan hal yang sama dengan Rico, mencurigai keterlibatan Deon. Tapi, mereka tak bsia asal menuduh tanpa bukti. "Pikiran lo lagi kalut sekarang. Sebaiknya, gue antar lo pulang."
Rico menggeleng. "Kalian duluan aja," ucapnya. "Gue masih mau di sini."
"Ric."
"Gue nggak akan ngelakuin hal aneh-aneh. Kalian tenang aja."
Dipta menghela napas berat, kemudian mengangguk sekali. Ia beranjak bangkit dan mengajak Haris meninggalkan area pemakaman.
.
Setibanya di gerbang depan area pamakaman, Emma dan Carissa sudah menunggu di sana, di dekat mobil yang terparkir.
"Kalian nggak langsung pulang?" tanya Haris ketika berderap mendekat.
Emma menggeleng pelan. "Kita nunggu kalian," jawabnya. "Kita tau, ini pasti berat banget buat kalian." Ia mengulurkan kedua tangan, memeluk Haris. "Gue akan selalu ada, kapan pun lo butuh tempat buat nangis."
"Makasih, Em." Haris membalas pelukan gadis itu. "Itu berharga banget buat gue."
"Nih, minum." Carissa menyodorkan sebotol air mineral pada Dipta. "Bibir lo kering. Muka lo juga pucat. Lo baik-baik aja, kan?"
Dipta menjawab dengan sebuah anggukan. "Setya mana? Udah pulang dulu--" Perkataannya terhenti, begitu pun dengan langkahnya. Pening kembali menghantam kepala. Telinganya kini terasa berdenging. Pijakannya mulai goyah dan ia hampir ambruk, jika saja Carissa tidak dengan sigap menahan tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUMMING HEART [Completed]
Novela JuvenilCan you fall in love without feeling that beat? Sudah menjadi rahasia umum kalau jantung akan berdebar lebih kencang saat seseorang jatuh cinta. Seakan, ada letupan kebahagiaan yang membuncah di dada. Sensasi itu menggelikan untuk orang normal. Namu...