35. Kawan Lama

643 113 148
                                    


"Dipta!"

Carissa memekik keras dengan kedua mata terbelalak begitu melihat lelaki itu diam tak bergerak, mengambang dengan posisi tubuh tengkurap. Gadis itu berlari—mengabaikan beberapa pecahan kaca pintu yang menusuk telapak kakinya—dan langsung melompat ke dalam kolam. Dengan sekuat tenaga, ia membawa Dipta ke pinggir kolam.

"Handuk butut, bangun! Sumpah ini nggak lucu!" panik Carissa karena Dipta sudah tak sadarkan diri saat ia membawanya ke pinggir. Deru napas lelaki itu lagi tidak terasa.

Tangannya menekan dada Dipta beberapa kali, mengeluarkan air yang mungkin saja menghambat pernapasan laki-laki itu. Namun, Dipta tak kunjung sadar. "Dipta, jangan gini dong." Ia semakin tak bisa mengendalikan dirinya "Bangun!"

Napas buatan.

Dua kata itu sontak saja terlintas di benak gadis itu. Sejujurnya, ia sedikit enggan melakukan itu, tak ingin merelakan ciuman pertama—yang dianggapnya sakral—itu untuk si handuk butut menyebalkan. Akan tetapi, ia tak punya pilihan lain lagi sekarang. Nyawa Dipta dalam taruhan.

Carissa mengulurkan sebelah tangan, menjepit hidung Dipta dengan ibu jari dan telunjuknya. Sementara tangan lain lembut menyentuh dagu lelaki itu dan perlahan membuka mulutnya. Ia mengambil satu tarikan napas sebelum memulai.

Handuk butut, lo harus bangun. Jangan bikin first kiss gue kebuang sia-sia, batin Carissa.

Gadis itu mengambil satu tarikan napas pajang, lalu metakkan bibirnyaa di atas mulut Dipta. Menutup rapat hingga tidak ada celah untuk udara keluar. Ia meniupkan napas dengan sekuat tenaga ke dalam mulut.

Berhasil.

Dada laki-laki itu tampak mengembang, naik-turun. Yang harus ia lakukan sekarang adalah mengulangi pemberian napas tersebut sampai dirasa ada tanda udara keluar dari mulut lelaki itu.

Dipta terbatuk pelan dan langsung memuntahkan air yang semula memenuhi rongga perut dan dada. Netra cokelatnya perlahan terbuka,mengerjap beberapa saat menatap langit-langit beranda kabin resort. Napasnya terengah dan hidungnya terasa perih karena kemasukan air. Namun selebihnya, ia baik-baik saja.

"Nyebelin banget!" semprot Carissa, dengan isakan yang masih belum berhenti sejak tadi. "Lo bikin gue parno setengah mati tau nggak! Hobi banget sih pingsan depan gue."

Lelaki itu mengubah posisi menjadi duduk. "Lo khawatir sama gue?"

Carissa langsung menendang kaki Dipta begitu mendengar pertanyaan ngawur itu. "Ya iyalah, gue khawatir! Gue takut lo kenapa-napa." Nada bicaranya melemah ketika mengucapkan kalimat terakhir. "Tadi pas gue tinggal ke dalem, lo masih baik-baik aja. Lo juga bisa renang, kan? Kenapa tadi tenggelam?"

Dipta terdiam sejenak, berusaha mengingat.  "Tadi waktu gue mau naik, tiba-tiba ada cowok yang berdiri di tepi kolam. Gue nggak tau siapa dia, karena mukanya tertutup slayer hitam." Ia bercerita. "Dia langsung nyengkram kepala gue, dan menggelamin gue ke air. Selebihnya, gue nggak ingat apa-apa."

"Orangnya pake baju serba hitam sama pake topi cap. Iya, kan?"

Pertanyaan itu langsung membuat Dipta menoleh, memandang dengan mata membulat. "Darimana lo tau?"

Gadis itu menghela napas berat. "Dia orang yang sama, yang gue lihat masukin racun ke minumannya Setya," ungkapnya. "Pembunuh bayaran itu, dia ngincar kalian berdua."

"Pembunuh bayaran?"

"Ya, kita asumsikan itu dulu," jawab Carissa. "Toh juga, kita nggak tau dia siapa dan alasannya apa ngelakuin itu." Ia beranjak lalu mengambil handuk yang ia jatuhkan asal tadi, melingkupkannya ke bahu Dipta. Ia mengulurkan tangan. "Sini, gue bantu berdiri. Habis ini, gue antar lo ke rumah sakit."

HUMMING HEART [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang