24. Tinta Merah

1K 190 233
                                    

Setelah kepulangannya dari latihan basket—yang kini hampir setiap hari ia lakoni, Dipta langsung masuk ke kamar dan segera merebahkan diri di kasur. Masih dengan Jersey basah karena keringat dan sepatu yang terpasang. Latihan tadi benar-benar gila. Sangat intens dan menguras energi. Tubuhnya kini seakan tak memiliki daya sekarang, belum lagi kepalanya yang terasa berat.

Dengan mata terpejam, ia berkali-kali menghela napas berat. Entah apa yang terjadi dengan dirinya, akhir-akhir ini Dipta sering merasakan sakit di kepalanya, juga staminanya yang tak lagi sama seperti dulu—mudah lelah. Ia mengubah posisi tidurnya miring ke kiri. Dan pada saat yang sama, ada sesuatu yang menetes mengenai kasur, berasal dari hidungnya.

Dipta dapat merasakannya karena cairannya yang jatuh itu juga mengenai bagian atas bibir. Segera ia sentuhkan ujung jari pada bagian itu guna memeriksanya.

"Darah," gumam lelaki itu ketika melihat bercak merah yang ada di tangannya.

"Kak, lo belum tidur, kan?" Terdengar suara Setya dari luar kamar, dibarengi ketukan berulang pada pintu kamarnya.

Lelaki itu buru-buru menegakkan punggung, memaksa tubuhnya bergerak dengan sisa-sisa energi yang dimiliki. Ia beranjak menyambar beberapa lembar tissue dari meja belajar untuk mengelap hidung dan tangan.

"Masuk aja, Set," balas Dipta. Suaranya terdengar bindeng berkat gulungan tissue yang menyumpal hidung. Ia dengan segera menarik lembar putih tipis yang kini dipenuhi bercak merah itu, ketika dirasa darah sudah berhenti menetes dari hidungnya. Kemudian, melemparnya ke kolong tempat tidur.

Pintu kamar terbuka, menampakkan Setya—yang masih mengenakan Hoodie putih pemberian Carissa tadi—dari baliknya. Lelaki itu berderap masuk dengan membawa semangkuk sup ayam jamur dan gelas berisi air.

 Lelaki itu berderap masuk dengan membawa semangkuk sup ayam jamur dan gelas berisi air

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Makan dulu. Jangan tidur dengan perut kosong." Setya meletakkan makanan tersebut ke meja belajar milik kakaknya. Ia menarik kursi yang ada di sana lalu mendudukinya dengan posisi terbalik, menyandarkan kepala dan lipatan tangan pada bagian atas sandaran kursi. "Tapi, mending mandi dulu deh. Bau lo nyakitin hidung gue," katanya bercanda.

Dipta tertawa ringan mendengar perkataan itu. "Nih anak kalo ngomong," katanya sambil menuding. "Suka bener."

"Ya udah, mandi sana. Biar seger. Biar wangi. Biar nambah gantengnya."

"Mandi nggak mandi, gue tetep ganteng kali," balas Dipta ngawur. Ia meyambar salah satu bantal, menggunakannya untuk menutupi noda darah di kasur—sebelum Setya melihatnya. Ia lalu beranjak berdiri.

Rasa pening seketika menyerang, segera setelah lelaki itu turun dari tempat tidur. Kepalanya kini terasa seperti berputar, limbung. Beruntung, pijakannya masih cukup kuat, sekedar menjaganya berdiri tegak. Dipta lalu berderap menuju lemari pakaian dan mengganti Jersey-nya yang sudah lengket dan bau keringat itu dengan kaus hitam lengan pendek.

HUMMING HEART [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang