Seulas senyum terbit di wajah ketika laki-laki itu merebahkan diri di atas rerumputan, dengan kepala terdongak sedikit ke atas dan mata yang memejam nyaman. Hangatnya sinar mentari lembut menerpa kulit, juga kesiur angin menggerakkan pelan rambutnya.
Samar, ia juga mendengar kicau burung Kolibri yang tengah asyik menyesap nektar bunga tak jauh darinya. Damai sekali.
"Setya."
Panggilan itu sontak membuatnya membuka mata. Mencari asal suara, laki-laki itu dengan cepat bangkit, mengedarkan pandang ke barisan bunga warna-warni yang terhampar di sekitar. Dilihatnya sesosok laki-laki berdiri, terpaut tak kurang lima meter di hadapannya. Wajah orang itu tak terlihat jelas karena tertutup kabut tipis.
"Kak," lirih Setya. Pandangannya seketika berubah seiring semakin dekatnya sosok itu melangkah. "Kenapa Kakak di sini?" Ia merasakan ujung matanya mulai mengembun.
Dipta mengulum senyum, melihat wajah sang adik yang tampak berseri. Tak lagi merasakan sakit. "Bawa adik Kakak pulang." Perlahan, tangan kanannya terulur, menggamit tangan Setya. "Ayo."
Ia membawa sang adik berjalan, menyusuri jalanan berhiaskan bunga, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah pintu batu besar dengan pusaran cahaya di baliknya.
"Kak, jawab! Kenapa Kakak bisa ada di sini?" Setya meracau, terus menuntut jawaban dari Kakak kembarnya. Dipta tak seharusnya ada di sini, tidak di alam ini.
Dipta mengecup singkat puncak kepala sang adik, lalu menariknya dalam pelukan. "Kakak sayang luar biasa sama kamu, dek," ucapnya, yang sukses membuat tangis Setya pecah. "Kakak nggak pernah berhenti bersyukur karena punya kamu."
Kabut tipis di bawah kaki mereka berpusing, semakin tinggi, hingga menenggelamkan kedua orang itu. Sosok sang Kakak seketika lenyap, hancur menjadi butiran debu yang kemudian hilang terbawa angin.
.
Setya tersentak, matanya terbuka dengan cepat. Ia merasakan aliran darahnya bergerak kencang, memaksa jantungnya memompa dua kali lebih hebat dari biasanya. Sakit sekali.
Dengan napas tersengal, serta lengan dan tungkai yang kini gemetar hebat, lelaki itu mengubah posisi menjadi duduk. Wajahnya tampak pucat. "Dipta," gumamnya.
Ia dengan cepat mencopot masker oksigen, selang infus, serta kabel-kabel kecil yang tertempel pada dada bidangnya, kemudian turun dari ranjang. Namun karena masih lemas, pijakannya goyah dan ia ambruk.
Setya menggeleng kuat. Tidak, ia tak boleh lemah seperti ini. Ia harus menemui kakaknya. Sekarang juga. Kegelisahan semakin membuat perasaanya berkecamuk. "Harus. Bisa." Susah payah, ia mencengkram bagian samping tempat tidur, menggunakannya sebagai topangan berdiri. Setya berlari dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya, mengabaikan jantungnya yang kian meronta dan serasa ingin lepas dari rangka.
Langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan. Samar, ia mendengar percakapan Vidya, Ambar, dan Arya pasal kondisi Dipta di depan ruangan tersebut.
"Kanker otak?" Setetes air mata lolos dari pelupuk ketika Setya lirih mengucapkan itu. Ia menggeleng pelan. Hatinya terasa hancur mengetahui kenyataan itu. "Nggak mungkin." Ia dengan cepat berlari menerobos tiga orang itu dan memasuki ruangan.
.
Setya memelankan langkah, menatap dengan mata berlinang ke arah sang Kakak yang kini terbaring tak sadarkan diri di sana. Wajahnya tampak pucat sekali.
Hening menyelimuti. Hanya ada suara beep beep berulang dari bedside monitor, yang kini beradu dengan suara langkahnya.
Setya menarik kursi di sisi kanan ranjang pasien dan mendudukinya. Perlahan, ia mengulurkan tangan, menggamit tangan kanan Dipta—yang terbebas dari selang infus—dan menempelkannya pada pipi.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUMMING HEART [Completed]
Ficção AdolescenteCan you fall in love without feeling that beat? Sudah menjadi rahasia umum kalau jantung akan berdebar lebih kencang saat seseorang jatuh cinta. Seakan, ada letupan kebahagiaan yang membuncah di dada. Sensasi itu menggelikan untuk orang normal. Namu...