11. Shining Shimering Splendid

1.5K 303 234
                                    

Dipta berdiri cukup lama di depan cermin kamarnya. Memperhatikan nanar pantulan dirinya dalam versi bukan dirinya. Potongan rambut sependek ini, sama sekali bukan gayanya.

"Laknat emang tuh cewek," gerutunya sambil menyisir pelan puncak kepala dengan jari tangan. Dipta tak suka rambut ini. Ia sudah terlalu nyaman dengan rambut lamanya.

"Gaya rambut lo bagus juga kalo dilihat-lihat," sahut Setya dari arah tempat tidur. Laki-laki itu kini tengah memantul-mantulkan bola basket milik kakak kembarnya pada lantai di bawah. "Lebih rapi. Lebih kelihatan gantengnya," sambungnya diiringi dengan senyum tipis.

Dipta berdecak sebal dan langsung memutar badan menghadap adik kembarnya. "Ini bukan cuma soal rambut, bege! Harga diri gue diinjek-injek!" berang lelaki itu. Ia mengangkat kedua tangannya setinggi dada, menunjukkan hasil pekerjaan Mbak-Mbak salon tadi. "Nih lihat! Kuku gue jadi shining shimering splendid gini! Nyebelin emang tuh manusia!"

Bibir sang adik mengatup kuat, berusaha menahan tawa atas kemalangan yang menimpa kakaknya sore tadi. "Kayak lagunya Aladdin dong, shining shimering splendid?" tanyanya menggoda, dengan nada sama seperti di lagu tersebut. Tawanya kini pecah, hanya tawa ringan.

"Dih, pake ketawa segala," sewot Dipta. "Puas, ya, ketawanya?! Lo nggak tau sih, gue di sana diapain aja."

"Kalo gue bisa ngakak, gue udah ngakak paling kenceng deh, Dip. Sampe guling-guling bila perlu. Kocak banget muka lo." Setya terdiam sejenak, mengatur pola napas guna meredakan tawa. Ritme jantungnya mulai cepat sekarang.

Setya harus benar-benar hati-hati mulai sekarang, setidaknya untuk lima hari ke depan, sampai jadwal pemeriksaan lanjutan dan pembelian obat tiba. Obat-obat yang kemarin sudah tidak dapat dikonsumsi lagi karena sudah jatuh ke lantai-yang basah terkena cipratan minuman keras pamannya-dan beberapa ada yang terinjak sepatu kotor pria itu.

Lo kuat, Setya. Nggak boleh ada acara kolaps lagi habis ini. Jangan nyusahin! batin laki-laki itu.

Dipta tertegun melihat raut wajah sang adik yang dengan cepat berubah murung. Bohong kalau ia tak mengetahui apa penyebabnya, karena Setya selalu seperti itu setelah tertawa, kesakitan.

"Kenapa malah ngelihatin gue?" Setya menurunkan kakinya ke lantai, dari yang sebelumnya tertekuk dalam posisi bersila di atas ranjang. "Naksir? Nggak bisa nahan pesona gue?" tanyanya berkelakar.

"Wah, nih bocah. Mulutnya memprihatinkan." Dipta menunjuk-nunjuk hidung Setya. "Kebanyakan main sama tuh cewek barbar pasti," katanya lalu mengambil posisi duduk si samping kanan sang adik. "Heran gue. Bisa-bisanya cowok kalem kayak lo mau deketan sama cewek barbar, agresif, sok ngatur, kepedean, kebanyakan mau, nyebelin kayak dia. Lo nggak ilfil apa sama cewek yang ngejar cowok duluan?"

"Cewek nggak apa-apa sih ngejar cowok duluan. Biar kerjaan cowok berkurang," jawab Setya nyeleneh, yang langsung mendapat sebuah toyoran dari sang kakak.

"Lo tuh kalo udah tau Kakak lo nggak bener, nggak usah ditiru. Jangan cari mati," omel Dipta. "Gue nggak suka, ya, kalo lo kayak gini. "

Salah satu sudut bibir Setya tertarik. "Gue nggak cari mati, Kak. Justru mati yang nyariin gue," ucapnya getir. "Lo tau sendiri udah berapa kali gue ada di ambang kematian."

"Dek," lirih Dipta. "Udah, ya. Jangan bahas-bahas itu lagi." Ujung matanya mulai tergenang basah. Suara bising itu, garis lurus pada layar monitor saat jantung Setya kehilangan denyutnya, semuanya kembali terngiang di kepala.

"Gue baik-baik aja sekarang." Setya menyikut pelan bahu sang Kakak. "Jangan cengeng. Kayak anak cewek aja."

"Sialan lo."

HUMMING HEART [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang