Setya menjatuhkan pandangannya pada ubin putih di depannya, menghindari kontak dengan beberapa siswa yang menatapnya di sepanjang koridor sekolah. Setelah seminggu yang rasanya sudah seperti seabad berada di rumah sakit, membuatnya kembali didera canggung saat menginjakkan kembali kakinya ke sekolah. Ia merasa seperti murid baru di sini.
Hanya saja, murid baru tak mendapat tatapan dan gunjingan seperti yang ia dapat saat ini.
"Enak, ya. Habis liburan seminggu? Tiduran di kasur," cibir salah seorang siswa.
"Temen sekelompok lo tuh pikirin?! Pusing mereka nyariin lo! Seenak dengkul main ngilang gitu aja," sahut yang lain.
"Pengecut."
"Sekolah kita jadi kalah gara-gara lo!"
"Kurang ajar!" ucap Dipta dengan mengeratkan rahang. Napasnya menderu berat. Kedua tangannya kini mengepal kuat, bersiap menghajar orang-orang itu. Kupingnya sudah sangat panas mendengar omongan-omongan mereka. Ia tak terima adiknya terus-menerus disalahkan, apalagi tanpa mengetahui persoalan yang sebenarnya.
"Udah, Dip. Nggak usah diladeni." Setya dengan cepat mencekal lengan Dipta, menahannya agar tidak sampai membuat keributan.
Biar bagaimana pun, ia yang salah. Karena ketidakhadirannya di final lomba cerdas cermat tingkat nasional pekan lalu, sekolahnya jadi kalah telak.
Sebenarnya, Setya sudah mempersiapkan segalanya. Ia juga menyusun strategi dan pembagian tugas bersama teman setimnya. Namun tepat sebelum berangkat, kondisinya tiba-tiba drop—entah karena stres atau perasaan tegang berlebih menjelang lomba yang membuat jantungnya kolaps—membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit, lagi.
Setya koma selama tiga hari di rumah sakit. Orang-orang hanya tak mengetahui itu. Yang mereka tahu, Setya kabur dari tanggungjawabnya dan itu menjatuhkan nama sekolah. Itu juga bukan salah mereka menganggapnya demikian.
Laki-laki itu meminta pada Dipta, saudara kembarnya, agar tidak menceritakan kejadian sebenarnya pada siapa pun. Ia tak ingin orang-orang mengetahui penyakitnya. Ia tak ingin dikasihani dan dipandang lemah.
Setya hanya ingin memiliki hidup normal. Itu saja.
"Ini nggak bisa didiemin." Dipta menyorot dengan penuh kemarahan. "Gue nggak terima lo diginiin."
Setya menggeleng pelan. "Jangan," pintanya. "Nggak akan ada gunanya."
Deon, salah seorang siswa yang tadi menggunjing, kini berjalan menghampiri mereka dengan sorot mata benci. "Dasar lemah. Lo itu cuma beban," katanya pelan pada Setya. "Penyakitan."
Deg!
Setya mematung di tempat. Darimana Deon mengetahui itu?
"Bajingan!" Dipta yang sudah naik pitam langsung melayangkan pukulan pada wajah Deon, membuat perkelahian antar keduanya tak dapat terelakkan. "Jaga omongan lo!"
"Yang gue omongin emang bener, kan?" Deon menyunggingkan senyum ketika Dipta mencengkram kasar kerah seragamnya. "Dia cuma beban."
"Dipta, udah. Jangan diterusin." Setya berusaha melerai. Namun, tak digubris.
"Brengsek!" Dipta semakin kalap menghajar laki-laki itu. Tangannya mengepal di udara, hendak melayangkan satu lagi pukulan. Namun, Setya segera memasang badan di depan Deon, membuat wajahnya kini jadi sasaran serangan sang kakak.
"Dipta, stop!" jerit Setya, mengabaikan nyeri luar biasa yang menusuk dada akibat debar jantungnya yang meningkat tajam, juga pukulan dari Dipta. Dadanya kini naik turun dan napasnya memberat. Keningnya mengernyit karena kesakitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUMMING HEART [Completed]
Fiksi RemajaCan you fall in love without feeling that beat? Sudah menjadi rahasia umum kalau jantung akan berdebar lebih kencang saat seseorang jatuh cinta. Seakan, ada letupan kebahagiaan yang membuncah di dada. Sensasi itu menggelikan untuk orang normal. Namu...