43. Terbongkar

872 125 186
                                    

"Sa, udah dong. Jangan kaya gini terus."

Emma menghela napas berat, melihat Carissa temannya yang kini seakan tak memiliki semangat hidup. Rambutnya acak-acakan, wajahnya tampak lusuh. Kedua mata biru yang biasanya cemerlang kini tampak merah bengkak—karena terlalu banyak menangis—dengan kantung mata menghitam.

"Udah dua minggu lho kamu kaya gini." Zia duduk di samping Carissa, bersandar pada kaki sofa. "Sikap kamu bikin kita sedih." Ia melirik sekilas layar ponselnya, membaca pesan masuk dari Mama tirinya—Dokter Tika—yang menanyakan apakah sudah sampai atau belum. Sesampainya di bandara, Zia tak langsung pulang ke rumah papanya. Ia lebih dulu ke sini menemui Carissa, menemaninya.

Zia jadi sering bolak-balik naik penerbangan sekarang, Jumat sore berangkat dari rumah ke tempat Carissa dan pulang minggu malamnya. Itu ia lakukan setiap pekan, terhitung sejak Setya koma. Ya, mau bagaimana lagi? Sekolahnya harus diurus. Sementara, sahabatnya sangat membutuhkannya saat ini.

Carissa mendongakkan kepala, menyandarkannya pada dudukan sofa sembari menatap kosong langit-langit kabin resort. "Udah dua minggu, dan Setya masih belum juga sadar dari koma," ucapnya getir. Tampak satu lagi bulir air jatuh dari ujung matanya. "Gimana bisa kalian nyuruh gue baik-baik aja?"

Sudah selama itu, dan Carissa sekali pun tak diizinkan menjenguk Setya, juga bertemu dengan Dipta. Emma yang melarangnya. Bukan tanpa Alasan Emma melakukan itu, ia hanya tak ingin kehadiran Carissa di sana justru semakin menyulut emosi Dipta, mengingat semarah dan sekasar apa lelaki itu pada temannya malam itu.

Carissa hanya bisa mengetahui perkembangan kondisi Setya melalui Zia.

"Gue pengen ke rumah sakit."

Emma berdecak sekali. "Lo jangan nekad, Sa. Nggak lihat semarah apa Dipta sama lo kemaren?" Ia berusaha memberi pengertian. "Kalo lo ke sana lagi, nanti yang ada makin runyam. Dipta denger nama lo aja udah marah, Sa. Apalagi ketemu sama lo. Bisa-bisa lo diseret keluar."

"Gue cuma pengen tau kondisinya Setya kaya apa. Itu aja." Carissa menatap kosong ke arah awan hitam yang bergulung-gulung di langit sore, juga tajuk pohon yang terus bergerak diterpa angin kencang. "Lihat dari jauh juga nggak masalah."

"Sa, tunggu bentar aja. Paling nggak sampe--"

"Em, udah." Zia menggeleng pelan, memberi isyarat agar Emma tak meneruskan kalimat. Ia menoleh pada Carissa. "Kamu pengen jenguk Setya, kan? Ya udah, sekarang siap-siap gih. Habis ini, kita ke sana."

"Zi, kok malah lo kasih ijin?" desis Emma. "Dipta gimana ntar?"

"Kamu tega lihat Carissa gini terus?" tanya Zia, yang langsung membuat Emma kehilangan kata-kata.

"Minum dulu," ucap seorang wanita setengah baya yang baru saja tiba dari dapur dengan membawa nampan berisi tiga cangkir hot chocolate. Ia mengambil satu cangkir, yang bagian atasnya diberi lebih banyak marshmellow—kesukaan putrinya—dan memberikanya pada Carissa.

"Makasih, Tan," ucap Emma.

"Sama-sama." Davina mengulum senyum pada ketiga orang itu. "Mama ke dapur dulu, ya. Nyiapin makan malam untuk kalian," katanya kemudian berderap menuju dapur.

Carissa mendekatkan cangkirnya ke mulut, meniupkan pelan seraya menyesap aroma cokelat. Minuman ini biasanya sangat ampuh mengembalikan mood-nya yang kacau. Namun sekarang, sama sekali tak berefek.

Gadis itu mengarahkan pandangan pada liontin hummingbird pemberian Setya. Sebelah tangannya terulur, mengusap lembut benda berwarna perak itu. Mendadak, ia menyadari sesuatu.

"Setya," gumam Carissa.

"Kenapa, Sa?" tanya Zia.

"Setya tadinya baik-baik aja. Dia bersikap normal," ucap Carissa sambil mengarahkan pandang bergantian pada kedua temannya. "Tapi, sikapnya mulai aneh setelah dia dari toilet. Dia juga di sana lama banget, ada setengah jam lebih mungkin. Nggak mungkin, kan, kalo nggak ada apa-apa, dia selama itu?"

HUMMING HEART [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang