"Setya, buka pintunya!"
Dipta terus menggebrak pintu kamar Setya, sembari meneriaki namanya. Berharap sang adik mau membukakan pintu yang terkunci itu, atau setidaknya memberi respon. Ia tak bisa berpikir jernih sekarang. Bunyi beep beep—dari Holter Monitor milik Setya—yang tak kunjung berhenti itu seakan menggerogoti kewarasannya.
Dipta hampir gila mencemaskan seperti apa kondisi adik kembarnya sekarang.
"Dek, buka pintunya! Jangan begini." Dipta mengusap wajahnya frustasi. "Gue mohon--"
Perkataan lelaki itu seketika berhenti. Sepasang netra cokelatnya membola begitu bunyi dari Holter Monitor itu kini tak lagi terdengar. "Nggak, nggak, nggak!" Ia terus memutar handle pintu, berusaha membuka pintu tersebut dengan tangannya yang gemetar, tapi hasilnya nihil.
Dipta langsung mengambil beberapa langkah ke belakang, lalu menendang kuat pintu tersebut, mendobraknya terbuka. "Setya!" Ia berlari masuk dan menghampiri Setya yang kini dalam posisi meringkuk di lantai. Wajahnya pucat dan keringat membanjiri tubuh. Tetes air terus mengucur dari ujung matanya.
"Gue nggak layak hidup, Kak," ucap Setya getir. Ia merasa sangat kotor, sangat berdosa. Karena dirinya, mamanya sampai rela melakukan dosa besar itu, bahkan sampai mengandung anak pria bejat itu. Ia sungguh membenci dirinya sendiri. "Semuanya pasti baik-baik aja kalo gue mati--"
"Nggak, nggak, nggak." Dipta menggeleng kuat. "Jangan ngomong gitu." Ia merangkul pundak sang adik, membantunya duduk dengan bersandar pada kaki ranjang. Dengan cepat, ia menyambar Holter Monitor yang tadi Setya lemparkan ke lantai, berniat memasangkannya kembali pada dada Setya. Namun belum sempat ia menempelkan satu elektroda, sang adik langsung menahan tangannya.
Setya menggeleng pelan. "Jangan. Gue nggak mau--Argh!" Laki-laki itu mencengkram kuat dada sebelah kiri, dengan kening mengernyit dalam dan rintihan yang semakin memilukan. Sakit di dadanya semakin tak terkendali. Jantungnya serasa ingin meledak.
"Setya, bertahan!" panik Dipta. "O-obat. Obat lo di mana?" Matanya mengedar cepat, memindai seisi ruangan. Ia baru hendak beranjak dari duduk—begitu mendapati botol obat tersebut berada di nakas samping tempat tidur—tapi Setya dengan cepat mencekal tangannya.
"Dek, jangan gini dong," Dipta menatap lamat mata sang adik. Matanya merah dengan linang yang terus mengucur tanpa permisi. "Lo harus minum obat."
"Peluk gue, Kak," mohon Setya. Suaranya lirih terdengar, tersamar di sela erangan sakitnya. Matanya mengerjap, berusaha sekuat tenaga menjaga diri tetap sadar. "Cuma itu yang bisa bikin gue tenang."
Dipta mengangguk sekali dan langsung mendekap tubuh adik kembarnya. Air matanya tumpah tak tertahan, begitu merasakan sendiri sekencang apa degup jantung Setya ketika kulitnya bersentuhan dengan dada kiri sang adik. Dipta tahu, itu rasanya pasti sakit sekali. Tak terhitung sebanyak apa Setya menderita selama ini. Namun, ia terlalu takut, sekedar membayangkan akan seperti apa hidupnya tanpa adik kembarnya itu.
"Tuhan pasti marah sama gue. Karena gue, Mama sampe mau tidur sama laki-laki itu. Bahkan sampe hamil anaknya. Gue nggak bisa jadi anak yang baik. Gue selalu bikin hidup Mama susah," gumam Setya.
"Itu nggak bener, dek."
"Gue takut, Kak. Kalo waktunya gue pergi nanti, Tuhan nggak mau nerima gue."
"Hei, jangan bilang gitu. Lo orang baik, Tuhan pasti sayang sama lo." Dipta mengelus lembut punggung Setya. Tak banyak kata yang mampu terucap olehnya, karena seperti Setya, ia juga tak kalah terkejutnya mengetahui kebenaran tersebut. Sama seperti sang adik, ia juga merasa gagal sebagai seorang anak. Tidak bisa menepati janjinya pada mendiang sang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUMMING HEART [Completed]
Fiksi RemajaCan you fall in love without feeling that beat? Sudah menjadi rahasia umum kalau jantung akan berdebar lebih kencang saat seseorang jatuh cinta. Seakan, ada letupan kebahagiaan yang membuncah di dada. Sensasi itu menggelikan untuk orang normal. Namu...