"Sebenernya lo mau gue ngapain sih?" tanya Dipta untuk kesekian kalinya. Tetapi bukannya memberi jawaban pasti, gadis itu malah tak menggubris sama sekali.
Dipta berdecak kesal. Netranya kini beralih pada Setya yang berjalan di samping kirinya. "Nih cewek barbar mau ngapain sih?" tanyanya penuh curiga.
Mereka bertiga—Dipta, Setya, dan Carissa—kini berjalan beriringan melintasi beberapa toko yang ada di lantai dua sebuah mall. Atau lebih tepatnya, Dipta dan Setya yang berjalan beriringan di belakang Carissa, persis seperti sepasang bodyguard yang tengah mengawal sang majikan.
Setya mengendikkan bahu sedikit. "Kan, lo yang punya urusan. Kenapa jadi nanya ke gue?" katanya. "Gue cuma ngikut ke sini. Gabut di rumah sendirian."
"Ya--"
Perkataan Dipta terhenti, karena tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang dingin dan pliket mengenai kaus yang ia kenakan. Laki-laki itu menggeram sebal sambil menepuk-nepuk bagian kausnya yang kotor terkena es krim vanilla milik Carissa. "Lo punya masalah apa sih sama gue?!" tanyanya dengan mata menyorot tajam pada sang pelaku.
"Sori, sengaja," balas Carissa enteng. "Biar lo nggak nyerocos mulu."
"Astaghfirullah, nyebut gue," dengus Dipta.
Kedua sudut bibir Setya tertarik sedikit. "Alhamdulillah," ucapnya, yang secara otomatis membuat sang kakak beralih memelototinya.
"Kok malah Alhamdulillah?!"
"Iya." Setya mengangguk. "Jarang-jarang, 'kan, lo nyebut. Biasanya kalo kesel, yang keluar kata-kata keramat," celetuknya. "Sama sumpah serapah yang nggak lolos sensor."
"Gara-gara gue tuh, mulut lo jadi alim," kata Carissa di sela kekehannya. "Alhamdulillah, gue kecipratan pahala."
"Diem deh lo!" semprot Dipta. Ia mengalihkan pandangan pada adik kembarnya. "Lo juga, Set. Lo ini kembaran gue. Kenapa malah ngebelain tuh cewek barbar sih?"
"Gue nggak ngebelain siapa-siapa," jawab Setya. Ia melepas kacamata bulat yang ia kenakan, kamudian mengucek pelan mata kanan yang terasa sedikit gatal.
"Kelilipan?" tanya sang Kakak. Meski masih kesal, tetap saja ia tak bisa mengalihkan perhatian pada adik kembarnya.
"Sepertinya." Tangan Setya masih belum beralih dari netra cokelatnya.
"Sini, biar gue tiupin." Dipta mengulurkan kedua tangannya, hendak menangkup pada bahu sang adik. Namun belum sempat hal itu ia lakukan, Carissa dengan cepat menarik kerah kemeja navy yang Setya kenakan, menyentak lelaki itu ke depan.
"Biar gue aja," ketus gadis itu pada Dipta. Ia menempelkan tangan pada pada pelipis kanan Setya, mengangkat pelupuk mata laki-laki itu dan meniupnya pelan.
Sepasang mata mereka kini bertemu. Cukup lama, hingga keduanya tenggelam dalam tatapan masing-masing.
Kening Setya terkerut dalam karena sentakan tiba-tiba pada dada kirinya. Kenapa degup jantungnya bisa meningkat sekencang ini hanya gara-gara tatapan mata gadis itu? Perasaan aneh apa ini? Sakit. Tapi entah kenapa, ia menikmatinya.
Setya dengan cepat memalingkan wajah, membuat Carissa secara otomatis melakukan hal serupa. Keduanya kini tampak salah tingkah.
"Udah ... mendingan?" tanya gadis itu kikuk.
"Gue nggak apa-apa," jawab laki-laki itu.
"Gue yang apa-apa," sahut Dipta yang sedari tadi menjadi obat nyamuk. "Lo apa-apaan sih, Sa? Seenak dengkul gituin adik gue. Kalo dia kaget, gimana? Mau tanggungjawab?!" Ia menoleh pada Setya. "Lo oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
HUMMING HEART [Completed]
Roman pour AdolescentsCan you fall in love without feeling that beat? Sudah menjadi rahasia umum kalau jantung akan berdebar lebih kencang saat seseorang jatuh cinta. Seakan, ada letupan kebahagiaan yang membuncah di dada. Sensasi itu menggelikan untuk orang normal. Namu...