"Minggir!"
Dipta berlari menerobos kerumunan yang memadat. Merangsek masuk menuju tengah. Entah sudah berapa bahu yang tanpa sengaja ia senggol atau kaki yang terinjak, ia tak lagi peduli. Pikirannya kalut sekali sekarang. Tangannya sudah gemetar hebat.
"Setya!" Lelaki itu bergegas menghampiri sang adik—yang sudah terkapar di rerumputan, diam tak bergerak—lalu berlutut di sampingnya dan memeriksa.
"Setya, please! Bangun!" teriak Dipta sambil terus mengguncang tubuh Setya. Detak jantung adiknya sudah tidak ada, denyut nadi dan embusan napasnya juga tak lagi terasa. Ini bukan lagi sinkop. Ini sudden cardiac death! Mati jantung mendadak. "Nggak! Dek, bangun! Lo nggak boleh kaya gini!" pekiknya sambil menangis. Ia sudah seperti orang gila.
Dipta menyorot tajam Carissa yang sudah menangis sesenggukan. "Bego! Kenapa malah lo diemin?!" murkanya. Dipta tahu, Carissa mengerti soal pertolongan pertama untuk kasus seperti ini. Gadis itu bisa memnerikan CPR, tapi kenapa tidak dilakukan?
"Udah gue coba, Dip," jawab gadis itu dengan suara bergetar karena tangis. Ia menggeleng pelan. "Tapi, hasilnya nihil. Setya udah--"
"Nggak! Adik gue masih hidup!" Laki-laki itu berkeras. "Berapa lama dia--" Suaranya terhenti. Ia tak sanggup mengatakan kata selanjutnya.
"Dua menit," ucap gadis itu.
Dipta langsung menarik kemeja yang Setya kenakan—membukanya, membuat kancing-kancingnya terlepas dan jatuh ke sembarang arah. Ia lalu menaiki tubuh Setya dengan menumpukan lutut pada kedua sisi tubuhnya. Ia meletakkan kedua tangan dengan posisi bertumpukan pada bagian tengah dada dan mulai memompanya. Pompa keras. Pompa cepat. Resusitasi jantung harus segera dilakukan, begitu korban mengalami henti jantung. Paling lambat tiga menit setelahnya, agar korban dapat diselamatkan.
Ini sudah dua menit. Artinya, masih ada satu menit terakhir. Dipta sama sekali tak boleh menyia-nyiakan waktu.
"Setya!" Dipta memanggil nama sang adik lebih keras, mencari-cari kesadarannya, tak peduli liurnya menetes ke mana-mana. Air matanya sudah berjatuhan dari pelupuk mata.
Dipta berhenti sejenak saat hitungan pompa ketiga puluh. Tangan kanannya yang sudah gemetar sejak tadi dia tempelkan di dahi Setya, sedang tangan kiri ia gunakan untuk mengangkat dagu adiknya secara perlahan, membuka jalur napas. Dipta memosisikan mulutnya pada mulut Setya, memberinya napas buatan.
Ia berlanjut mengecek denyut nadi sang adik lagi.
Masih tak ada tanda-tanda kehidupan.
"Setya, gue mohon!" jerit Dipta parau. "Setya--ARGH!" Laki-laki itu menggeram memegangi kepala bagian sampingnya yang terasa seperti berdentum. Sial! Kenapa sakit kepala sialan ini harus datang di saat sekarang?
Dipta, lo harus kuat. Demi Setya, pekiknya dalam hati. Berusaha mengenyahkan sakit itu. Ia tak boleh lemah. Hidup orang yang paling ia sayang di ujung tanduk sekarang.
Dipta terus terus memompa dada Setya, kali lebih bertenaga, mengabaikan kepalanya yang serasa berdenging. Tak peduli meski risikonya tulang Setya bisa patah. Tulang patah bisa diperbaiki, tapi nyawanya? Jika sudah melayang, mustahil bisa dikembalikan ke raga. Ia harus cepat.
Nyeri di kepala Dipta semakin tak tertahan. Ia tak lagi bisa merespon suara apa pun yang ada di sekitar, pandangannya juga perlahan terbaurkan. Meski begitu, ia tetap berusaha mengarahkan fokus, pada Setya. Pada wajah pucat dan kaku sang adik. Waktu kian menipis, sementara Setya tak kunjung memberikan respon. Tolong tunjukkan keajaibanmu, Tuhan! Kumohon sekali ini saja. Aku siap menanggung harga semahal apa pun asal dia selamat, ratapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUMMING HEART [Completed]
أدب المراهقينCan you fall in love without feeling that beat? Sudah menjadi rahasia umum kalau jantung akan berdebar lebih kencang saat seseorang jatuh cinta. Seakan, ada letupan kebahagiaan yang membuncah di dada. Sensasi itu menggelikan untuk orang normal. Namu...