"Lo kalo mau bunuh diri jangan ajak-ajak orang dong!"
Carissa terus menggerutu sembari memberikan usapan berulang pada keningnya yang terasa nyeri setelah bercumbu dengan bagian belakang kursi kemudi mobil. Bagaimana tidak kesal? Dipta—yang menyetir mobilnya—tiba-tiba saja menginjak kuat rem, menghentikan paksa kendaraan yang semula melaju dengan kecepatan normal itu. Dan sekaligus, membuatnya tersentak ke depan.
"Lo kenapa sih, handuk butut?!" tanyanya setengah mengomel.
Namun, pertanyaan itu tak kunjung mendapat. Kini, Carissa justru samar mendengar erangan pelan lelaki itu dari kursi kemudi di depannya.
Penasaran, gadis itu pun mencondongkan tubuh ke depan guna memeriksa. Ia mendapati Dipta kini menempelkan kepala pada stang kemudi sambil terus memegangi bagian itu dengan tangan kanan.
"Kalo mobilnya nggak gue berhentiin," ucap lelaki itu sambil terus mengerang pelan. Sakit kepala ini mendadak muncul lagi, dan sekarang malah lebih parah dari sebelumnya—yang ia alami setidaknya tiga kali dalam seminggu ini. "Bisa-bisa kita nabrak," sambungnya.
Carissa tampak terdiam sejenak, memandangi Dipta yang kini menyandarkan kepala pada bagian samping mobil dekat jendela. Kedua mata lelaki itu tampak memejam kuat, dengan kening yang mengernyit dalam. Wajahnya tampak pucat.
Melihat sikapnya yang berangsur tenang—tidak lagi mengerang sakit, membuat gadis itu lantas berpikir sakit di kepala Dipta perlahan menghilang. Tapi, tetap saja itu tidak bisa diabaikan.
"Turun," perintah gadis itu. "Biar gue yang nyetir." Tanpa menunggu jawaban, ia langsung turun dari mobil dan berlanjut membuka pintu bagian depan, tempat kemudi. "Lo mau turun, apa perlu gue seret juga?" tanyanya setengah mengomel.
Dipta tak mendebat. Ia langsung turun dari kursi pengemudi dan berpindah ke kursi sebelahnya. Syukurlah, gadis itu bersedia menggantikannya menyetir. Sulit baginya untuk tetap fokus melajukan kendaraan tersebut saat nyeri terus-menerus menghantam kepalanya.
"Sebenernya lo kenapa?" Carissa menoleh sekilas pada Dipta, sementara tangannya masih sibuk memasang seatbelt. "Gue nggak cuma sekali lihat lo sakit kepala gini."
"Nggak kuat denger ocehan lo," jawab laki-laki itu nyeleneh. "Polusi banget."
Carissa tersenyum kecut. "Handuk butut," dengkusnya. "Gue nanya baik-baik juga." Ia menyalakan kembali mesin mobil dan melajukannya, putar balik kembali ke sekolah.
"Kok malah lo bawa balik ke sekolah?"
"Sekolah lebih deket dari rumah sakit, apalagi rumah lo," jawab Carissa dengan pandangan yang fokus mengarah pada jalanan di depan. "Biar lo bisa istirahat bentar juga. Sejam lagi, kan, lo ada latihan buat turnamen."
Turnamen basket tinggal tiga hari lagi, para siswa juga sudah sangat berantusias mendukung tim basket kebanggaan sekolah. Sumpah, tidak lucu kalau saat pertandingan berlangsung, si handuk butut meyebalkan—kapten tim basket—ini pingsan di tengah lapangan.
***
"Pilih obat yang mana?" Carissa menyodorkan sebuah kotak plastik berwarna bening berisi tumpukan obat—termasuk obat sakit kepala—dengan berbagai merk pada Dipta. Ia tak tahu obat jenis apa yang biasa diminum lelaki itu saat sakit kepala. "Yang merah, biru, apa kuning?"
Jadi, lebih baik ia suruh laki-laki itu mengambilnya sendiri.
Dipta menarik salah satu kursi dan mendudukinya. "Yang ijo," katanya tanpa menoleh.
Gadis itu berdecak sebal. "Itu obat flu sama batuk, geblek." Ia mengambil asal salah satu obat sakit kepala dan melemparkannya pada Dipta. "Habis lama-lama sabar gue sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
HUMMING HEART [Completed]
Novela JuvenilCan you fall in love without feeling that beat? Sudah menjadi rahasia umum kalau jantung akan berdebar lebih kencang saat seseorang jatuh cinta. Seakan, ada letupan kebahagiaan yang membuncah di dada. Sensasi itu menggelikan untuk orang normal. Namu...