Bagian Delapanbelas

11.9K 930 32
                                    

Nasi sudah menjadi bubur, kayu sudah menjadi abu. Penyesalan memang selalu datang terlambat.

-Asma Cinta, Fathur-

NrAida

————————————

"Dari mana?"

Di tengah ruangan—dengan kedua tangan terlipat di bawah dadanya sembari menatap selidik pria yang berjalan melewatinya begitu saja.

"Rudi! Aku tanya kamu dari mana?!"

Rudi berbalik, ia menatap jengah istrinya yang kini melangkah cepat ke hadapannya.

"Aku baru dari rumah sakit, Maudya."

"Aku nggak percaya!"

"Terserah, sedikitpun kamu tidak pernah peduli dengan kondisi Papaku. Dan setiap Mama kemari kamu selalu bikin ulah, kamu tidak pernah hormat sama mereka."

Maudya mendelik, tidak terima dengan yang dikatakan suaminya. Padahal, semua yang di katakan Rudi benar adanya.

"Bagaimana aku bisa peduli kalau mereka aja nggak pernah menganggap aku sebagai menantu. Bahkan, seluruh keluarga kamu selalu merendahkan aku, Rudi!"

Rudi menghela nafas, ia tidak percaya wanita yang merupakan istrinya ini sangatlah berbeda dengan sebelum mereka menikah. Dulu, Maudya tidak seperti sekarang. Istrinya ini selalu saja berprasangka buruk terhadapnya.

"Kamu benar-benar berubah Maudya, seandainya Wulan—"

"Wulan?! Jadi kamu masih berharap sama dia? Ingat Rudi, Wulan yang ninggalin kamu! Wulan penyebab Papa kamu stroke tapi kamu ... aku nggak percaya sampai sekarang kamu masih cari dia! Aku istri kamu Rudi! Hargai aku!" teriak Maudya tidak terima, memotong Rudi ketika mendengar nama Wulan kembali keluar dari bibir suaminya.

Maudya frustasi setiap kali nama itu terdengar di telinganya. Mengapa semua orang selalu membangga-bangga wanita yang telah merebut kebahagiaannya. Maudya tidak suka setiap kali orang-orang melihat Wulan dengan tatapan memuja, sedangkan dirinya selalu mendapatkan cibiran.

"Sudahlah, Maudya. Aku lelah selalu bertengkar dengan kamu,"

Rudi berbalik, melangkah cepat menuju kamar—meninggalkan Maudya yang tidak terima karena di tinggalkan saat mereka belum selesai bicara.

Lelah, sangat lelah. Selama dua puluh satu tahun ini jiwa Rudi seolah mati—hidup namun tidak bergairah. Kehilangan dan rasa bersalah yang ia rasakan begitu dalam.

Seharusnya dulu ia menuruti semua yang dikatakan Papa dan Mamanya. Seharusnya dulu ia tidak membangkang. Dan, seharusnya dulu ia tidak mengambil keputusan yang membuatnya menyesal sedalam ini.

Seharusnya, ya memang seharusnya itu yang dulu Rudi lakukan. Tetapi, mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur, kayu sudah menjadi abu. Penyesalan memang selalu datang terlambat.

Rudi menunduk dalam, pertemuannya dengan Wira membuatnya kembali teringat dengan Wulan. Bahkan, setelah bertahun lamanya Rudi tidak berhasil. Ia gagal, selalu gagal. Rasanya Rudi ingin menghantam kepalanya ke dinding. Segala cara telah ia coba tapi selalu saja nihil.

"Kemana kamu Wulan. Di mana lagi aku harus cari kamu, di mana!"

Rudi tersenyum samar, kepalanya menggeleng-geleng. "Apa kesalahan aku sebegitu fatalnya sampai kamu pergi. Mama dan Papa benar, Wulan. Aku menyesal."

————————————

Arumi melihat sekelilingnya, saat ini ia tengah berada di taman rumah sakit. Dengan amplop cokelat di pelukannya, ia melangkah pelan menuju kursi. Arumi duduk, ia menunduk melihat amplop dipelukannya.

Asma Cinta, Fathur (SELESAI) REPUBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang