Bagian Tigapuluh Empat

14.5K 911 21
                                    

Setiap orang memiliki masa lalunya sendiri, namun bukan berarti masa depan setiap orang akan tetap sama dengan masa lalunya.

-Asma Cinta, Fathur-

NrAida

——————————————



Sejauh dan sekeras bagaimana pun Arumi mencoba menghindari, pada akhirnya sekarang ia tetap akan berhadapan dengan Rudi.

Rudi berhasil mengejar dan menahan pergelangan tangan Arumi, ia menatap Arumi penuh permohonan agar putrinya itu mau berbicara sekali saja dengannya. Selama beberapa hari ini, Rudi terus mengikuti kemana pun Arumi pergi.

Ia tidak punya pilihan, karena setiap kali menghampiri, Arumi selalu saja pergi menjauh darinya. Maka dari itulah, Rudi terus mengikuti Arumi. Berharap putri mau mendengarkan dirinya.

Dan sekarang, di taman yang tidak jauh dari sebuah masjid Arumi dan Rudi saling terdiam. Usai shalat dzuhur, Rudi berhasil membawa Arumi untuk bicara empat mata dengannya.

"Apa yang mau anda bicarakan dengan saya?" Setelah keterdiaman yang mengisi keriuhan angin, Arumi pun lebih dulu bersuara. Tanpa menatap Rudi yang berdiri di depannya.

"Papa minta maaf," Suara itu terdengar bergetar di pendengaran Arumi.

"Maaf? Kenapa meminta maaf pada saya? Apa kesalahan yang anda perbuat?"

Arumi tersenyum miris, ada gejolak yang berusaha keras Arumi tahan. Kedua tangan terkepal. Dada Arumi berdenyut nyeri, masih tidak percaya ayahnya tengah berhadapan dengannya, di depannya. Hanya berjarak dua langkah dirinya.

Rudi menatap Arumi penuh penyesalan, putrinya bahkan tidak mau melihat dirinya.

"Arumi, Papa minta maaf karena...." Rudi menunduk menyesal, "Maafkan Papa." Namun, kata maaf pun tidak cukup untuk menembus kesalahannya di masa lalu. Tanpa Rudi sadari, ia sudah sudah sangat menyakiti Wulan dan putrinya yang selama ini tidak ia ketahui.

"Maaf untuk apa? Kenapa anda harus meminta maaf? Apa kesalahan anda?"

Air mata Arumi tidak dapat dibendung lagi, menerobos pertahanan begitu saja. Arumi mengangkat kepalanya, menatap pilu pada sosok di depannya. "Maaf karena kesalahan apa? Kesalahan anda yang mana yang harus mendapat balasan maaf dari saya?" tanya Arumi menuntun dengan nada semakin meninggi di akhir kalimatnya.

Tangan Rudi mencoba menggapai Arumi, namun tidak sampai—menggantung di udara." Arumi," lirihnya disertai lelehan air matanya. "Maafkan Papa, nak. Maafkan Papa." Rudi terus mengulangi kata maaf tanpa mengatakan alasan atas permintaan maafnya kepada Arumi.

"Nak, kata maaf saja tidak akan cukup untuk menembus kesalahan Papa padamu dan ... Wulan." Rudi mengusap air matanya, perlahan melangkah mendekati Arumi. Namun ada denyut nyeri di ulu hatinya melihat Arumi melangkah mundur. Menghindar darinya.

"Maaf, nak. Apa yang harus Papa lakukan agar kamu mau memaafkan, Papa?"

Arumi menggeleng-geleng kepala cepat, "Tidak ada, tidak ada yang harus anda lakukan! Anda ... anda tidak perlu melakukan apa pun, memang kesalahan apa yang anda lakukan?!"

Arumi berharap Rudi mengutarakan kesalahan apa yang telah ia perbuat sampai harus mendapatkan maaf darinya.

"Maafkan Papa, nak. Maaf ... karena Papa kalian hidup menderita, nak. Papa menyesal, Papa sangat menyesal. Arumi, Papa tidak pernah mengetahui kehadiran kamu, nak. Papa—"

"Apa anda peduli ada atau tidaknya saya di dunia ini? Apa anda peduli?" Tarikan nafas Arumi begitu dalam, ia menatap tajam Rudi. Arumi tersenyum tipis, "Siapa anda? Kenapa anda terus menyebut diri anda Papa? Apa saya putri anda?!" Arumi menjerit, ia sudah tidak tahan dengan gejolak dalam hatinya.

Asma Cinta, Fathur (SELESAI) REPUBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang