Bagian Tigapuluh Lima

14.5K 964 14
                                    

Setiap orang memang memiliki haknya menilai orang lain. Tetapi, terkadang mereka lupa bahwa penilaiannya terhadap orang lain tidak selalu benar.

-Asma Cinta, Fathur-

NrAida

——————————————




Jemari Arumi mengusap embun di jendela, semenjak maghrib hujan mengguyur deras. Arumi menarik nafasnya dalam-dalam, menghirup udara segar malam ini.

Arumi mengusap-usap bahunya, dinginnya malam begitu menusuk. Terlebih sangat angin berhembus, bahu Arumi bergetar pelan. Meski sudah kedinginan Arumi tidak lantas menutup jendela.

Dibelakang sana, tanpa Arumi sadari Fathur memasuki kamar. Fathur melihat Arumi berdiri di jendela, ia meletakkan tas kerjanya di sofa. Lantas melangkah pelan ke arah Arumi sembari membuka kancing lengan kemejanya, menggulung hingga ke siku.

Setelah berdiri tepat dibelakang tubuh Arumi, lalu menyusupkan tangannya di balik pinggang Arumi, menumpukan dagunya di kepala Arumi. "Kenapa jendela di buka, hm?" tanyanya dengan suara pelan.

"Mas."

Arumi terkejut merasakan pelukan dari belakang, terlebih saat suara Fathur terdengar. Fathur menahan pinggang Arumi ketika istrinya hendak berbalik.

"Ada yang sedang kamu pikirkan, hm?"

Fathur mencium rambut Arumi, lalu mengelus-eluskan pipinya ke rambut Arumi.

"Nggak ada kok, cuma aku lagi pengin di sini aja. Udaranya segar." Arumi menjawab, perutnya bergejolak. Seakan ada kupu-kupu yang tengah beterbangan di dalam perutnya.

Fathur melihat ke arah langit malam, begitu pekat, gumpalan awan gelap pun terlihat jelas. Beberapa saat keheningan mengisi, kemudian Fathur mengecup pipi Arumi.

Kecupan ringan yang diberikan Fathur membuat tubuh Arumi menegang, tanpa sadar Arumi meremas tangan Fathur yang masih memeluk pinggangnya.

Fathur tersenyum kecil merasakan ketegangan pada Arumi, ia pun menumpukan dagunya di bahu Arumi sembari mengeratkan pelukannya.

"Mama tadi bilang kamu di antar pulang sama Papa Rudi, ya?" Fathur berbisik tepat di telinga Arumi.

Arumi menggeliat geli ketika deru nafas Fathur menerpa telinga dan pipinya. "I-iya, tadi, tadi aku pulang di antar Papa." balas Arumi gugup sampai suaranya terbata.

"Sudah berbaikan, ya? Kamu enggak menghindari Papa Rudi lagi?"

Arumi mengangguk pelan. "Iya, mulai sekarang aku nggak akan menghindar lagi. Oiya, Mas, Papa minta aku datang ke rumahnya besok. Apa aku boleh datang?"

Setelah mengungkapkan semua yang terpendam di hatinya selama ini  kepada Rudi, ada kelegaan luar biasa dalam hati Arumi. Meskipun masih terasa canggung, Arumi bisa melihat bagaimana Rudi berusaha mendekatkan diri dengan Arumi. Dan tidak hanya itu, kemarin saat di toko bunga Rudi mengundang Arumi datang berkunjung ke rumahnya.

"Tentu kamu boleh datang, saya tidak akan melarang kamu berkunjung ke rumah Papa kamu sendiri, Aru. Saya juga senang kalau kamu sudah mau membuka diri dengan Papa Rudi, Ibu pasti ikut senang melihat putrinya dekat dengan Papanya."

Arumi tersenyum, senang karena mimpinya memeluk ayahnya terwujud. Ada perasaan membuncah di hatinya saat merasakan tangan Rudi menghapus air matanya.

"Makasih, Mas ... iya, aku harap Ibu bisa melihatnya dari atas sana. Awalnya aku masih belum sanggup untuk bertemu dan berbicara dengan Papa, tapi Papa terus memohon." Arumi memejamkan matanya sejenak, kembali mengingat kejadian tadi siang. "Papa terus meminta maaf sama aku, Papa menyesali semua yang terjadi di masa lalu. A-aku memang enggak bisa menerima dengan mudah permintaan maafnya, tapi sekarang aku berusaha membuka diri untuk Papa. Udah lama banget aku kangen Papa." lanjutnya.

Asma Cinta, Fathur (SELESAI) REPUBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang